Rabu, 31 Desember 2014

Catatan Akhir Tahun Desaku

Wajah desaku yang bikin kangen
Desaku Bulupayung itulah nama desaku tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, nama yang aneh di telinga tetapi itulah adanya, Desa yang terletak di kecamatan Adimulyo Kabupaten Kebumen Jawa Tengah adalah desa kecil kurang lebih 6 km dari jalan utama jalur selatan jawa. Jumlah penduduknya tak lebih dari 100 KK, 99,99 %  beragama muslim. Sebagaian besar masyarakat desaku bermata pencaharian sebagai petani, sawah adalah sumber pokoknya. 

Masih terbayang dalam ingatanku desaku ketika masa-masa kecilku, begitu banyak menyisakan kenangan. Akhir tahun 1993 saya meninggalkan desa itu untuk mencari pengalaman baru di tempat lain untuk belajar berbenah diri dan menemukan jati diri yang sesungguhnya. Kini dipenghujung tahun 2014 tersirat pertanyaan di benaku, Kapan saya bisa pulang ke desa untuk menghabiskan sisa umurku disana ?. Sering terbayang wajah suasana desaku ketika mengalami kesemerawutan di perantauan apalagi semacam kota besar seperti ibukota ini. Ingin rasanya sebulan sekali saya bisa jalan-jalan keliling desaku, dengan keramahan penduduknya, tapi itu tidak mudah bisa diwujudkan.

Didesa itu dulu saat mandi di sungai, bermain layang-layang, main kelereng, main petak umpet dan masih banyak lagi, itu semua yang menimbulkan rasa rindu yang amat sangat. Belum lagi cerita lain ketika menginjak remaja ada saja yang perlu disesali dan tentu ada pula yang patut di syukuri, namun tetap saja indah bila dikenang. Apalagi jika melihat sudut-sudut desa yang masih saja serupa dulu, inilah desaku, tak banyak yang berubah. Entah, saya tidak bisa mengukur dan menggabarkan seberapa dalam dan besar rasa cinta saya pada desaku Bulupayung. 

Sudut Desaku
Mungkin benar kata orang, bahwa salah satu ikatan emosional yang paling mendasar dalam diri manusia adalah kenangan terhadap tempat dan lingkungan dimana dia dilahirkan dan dibesarkan. Seperti halnya peristiwa mudik. Seolah mempunyai kekutan tersendiri orang berlomba sekuat tenaga dengan berbagai cara agar bisa pulang kampung di hari raya lebaran. Jawabanya adalah "ingin kembali ke kampung halaman, tempat ia dilahirkan. Disitulah tersimpan segala kenangan manis masa kecil bersama orang tua, saudara2, dan teman2 sepermainan, dengan rumah dimana dia dilahirkan, dengan lingkungan yang akrab dia kenal sehari-hari. Pada dasarnya ia ingin kembali, ketempat dia lahir, seakan ada kekuatan yang luar biasa.

Itu juga yang berlaku pada diri saya. Walaupun telah meninggalkan rumah tempat kelahiran saya hampir 21 tahun. Namun ikatan emosional saya dengan tempat itu tidak pernah berkurang, bahkan dengan makin tambahnya umur terasa makin kuat. Begitu banyak kenangan manis yang tidak mungkin terlupakan yang terkait dengan rumah dan ligkungan tempat saya dilahirkan.

Tahun 2014 beberapa saat lagi akan berakhir, semoga ditahun berikutnya desaku yang kucinta akan lebih baik, maju dan makmur serta sejahtera...
.

Senin, 01 Desember 2014

Asal Mula Nama Desa Bulupayung

Desa Bulupayung
Desa Bulupayung adalah sebuah desa di kelurahan Mangunharjo kecamatan Adimulnyo kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Desa kecil berpenduduk sekitar 90-an KK, desa yang diapit oleh hamparan sawah yang luas. Dari kota Kebumen dapat ditempuh sekitar 17 km, hanya sekitar 10 km dari pantai selatan (Petanahan). Untuk menuju desa ini dari jalur selatan dari arah Purwokerto setelah Gombong akan menjumpai kota kecil Karanganyar, setelah sampai pasar karanganyar belok kanan menyusuri jalan kaleng sekitar 6 km sampailah di desa Bulupayung.

Bagi penduduk sekitarnya desa Bulupayung ditempo dulu terkenal dengan angker/seram, karena untuk menuju desa tersebut harus melalui jalan yang dikeramatkan, terutama yang dari arah timur, utara dan barat. Dari arah tersebutlah terdapat makam tua yang dikeramatkan. Banyak kejadian-kejadian aneh yang dialami oleh pejalan kaki atau pengendara yang melalu jalan tersebut.

Menurut cerita yang saya dapat dari para orang tua dan nenek moyang saya yang sudah lama mendiami desa tersebut, desa Bulupayung mempunyai kisah yang sedikit agak miris. Itu ditandai dengan adanya makam tua di sisi utara desa yang semuanya berjumlah tiga. Makam tersebut masih merupakan satu keluarga. Makam yang disisi utara sebelah tengah ada dua makam di sisi kanannya adalah makam P. Trenggono dan Nyai Maduretno sedang di sisi kirinya adalah makam anaknya Siti Sundari dan yang satu lagi di ujung timur sebelah utara adalah anak lelakinya P. Joyo Kusumo.
Jalan menuju makam sebelah timur desa
Awal kisahnya dahulu ada pasukan Pangeran Diponegoro yang habis bertempur melawan Belanda di daerah Gombong, mereka mengalami kekalahan dan melarikan diri ke arah tenggara yang bermaksud kembali ke markasnya di Gua Selarong Jogjakarta.  Karena sebagian pasukanya mengalami luka-luka mereka mencari tempat untuk beristirahat sambil mengobati lukanya. Berhentilah di suatu tempat yang banyak di tumbuhi pohon-pohon besar, mereka mendirikan peristirahatan semacam perkemahan.

Diceritakan pohon tersebut memiliki ranting dengan dahan yang menjulur hampir menyentuh tanah dan sangat ridang, dari rantingnya memiliki cabang-cabang ranting kecil membentuk seperti daun pisang, andai hujan turun airnya tidak akan dapat menembus ranting tersebut. Kalau dilihat dari kejauhan nampak seperti payung yang sedang mengembang, dengan ranting daun yang menjulur menyerupai bulu ayam. Mungkin kalau digambarkan hampir mirip seperti pohon beringin, tetapi menurut orang-orang tua di desa itu, pohon itu bukan pohon beringin, terus pohon apaan ?. wis pikir deweklah....

Setelah dirasa pulih dan kuat untuk melanjutakan perjalanan pasukan P. Diponegoro melanjutkan perjalanan menuju markasnya di Jogjakarta. Salah satu prajuritnya yang bernama P. Trenggono ditinggalkan ditempat itu, tidak tau apa maksudnya dan apa pangkatnya (tumenggung, demang, senopati atau panglima). Dari situlah tempat itu makin banyak didatangi orang dan bahkan dijadikan tempat tinggal. Karena banyaknya orang yang mendiami maka seiring waktu si prajurit tersebut  memberi nama daerah itu dengan nama Bulupayung yang sampai saat ini menjadi sebuah desa masih dengan nama tersebut. 

Sedang kisah mirisnya terjadi pada anak perempuanya yang bernama Siti Sundari. Siti Sundari mempunyai paras yang cantik dengan rambut panjang hitam lebat hampir menyentuh tanah. Dari kecantikanya banyak pemuda yang terpesona dan jatuh cinta. Banyak raja, tumenggung dan pangeran yang ingin mempersuntingnya. diceritakan juga karena kulitnya sangat putih dan bersih sampai-sampai ketika minum aliran airnya terlihat dari tenggorokanya. Bisa dibayangkan seperti apa putihnya putri tersebut, silahkan boleh percaya boleh tidak ?.

Tragis nasib Si Gadis ini, Dia meninggal dengan cara bunuh diri. Dia galau dan risau karena banyak pemuda yang ingin mempersuntingnya tetapi Dia tidak bisa menentukan mau memilih pemuda yang mana. Mungkin pikir Dia daripada menyakiti salah satu dari pemuda tersebut lebih baik mengahiri hidupnya saja.. Whow...kaya crita sinotron baelah... Tetapi sebelum mengahiri hidupnya Dia sempat mengeluarkan kalimat semacam sumpah isinya  kira-kira seperti ini :

"Kelak di desa ini tidak akan ada wanita cantik yang rambutnya panjang dan lebat, kalaupun dia cantik rambutnya tidak akan panjang dan lebat, kalau ada wanita yang cantik dengan rambut panjang maka umurnya tidak akan lama"  

Semoga saja sumpah itu tidak berlaku lagi. Dan banyak saya liat di desa Bulupayung wanita-wanita cantik, Alhamdulillah mereka baik-baik saja atau memang juga yang cantik kebetulan tidak berambut panjang, paling cuma sebahu atau sepunggung belum ada yang panjangnya sampai lutut apalagi sampai menyentuh tanah. Entahlah....yang jelas jangan menjadikan kita Syirik....

Itulah sedikit cerita terbentuknya desa Bulupayung yang masih erat dengan keberadaan tiga makam tua di desa tersebut silahkan boleh percaya boleh tidak.... Tulisan ini hanya berdasarkan cerita dari orang-orang tua, belum ada penelitian secara ilmiah untuk mendukung cerita tersebut.
Yang jelas sebagai orang yang terlahir dan besar didesa Bulupayung saya sangat bangga menjadi salah satu bagianya.


Bulupayung - Kebumen ....
Paguyuban Bulupayung & Duduhan
Makam P. Trenggono dan Nyai Maduretno di Desa Bulupayung


Rabu, 19 November 2014

Desa Mangunharjo Kebumen

Kantor kepala desa Mangunharjo
Desa Mangunharjo adalah sebuah kelurahan di kecamatan Adimulnyo kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Kelurahan ini membawai empat dukuh/desa yaitu Pecangkringan, Karangkambang-Criwik, Bulupayung dan Duduhan. Dengan letak geografis yang cukup strategis yaitu dekat dengan pusat pemerintahan Kecamatan dan dilalui jalur lalu lintas wisata antara Gombong-Pantai Petanahan, Karanganyar-Pantai Suwuk dan juga Karanganyar-Petanahan menjadikan kelurahan ini menjadi jalur yang cukup sibuk.
 
Kelurahan ini berbatasan langsung dengan enam desa kelurahan yaitu sebelah barat dengan Desa Kemujan dan Caruban, sebelah utara Desa Meles, sebelah timur Desa Banyuroto dan Adimulnyo dan sebelag selatan Desa Adiluhur.

Papan nama kantor Kelurahan Mangunharjo

Desa Mangunharjo mempunyai panorama alam yang cukup elok karena di kelilingi dua bukit yaitu di sebelah barat nampak gugusan pegunungan kapur dari mulai daerah Gombong hingga pantai Karangbolong. Sebelah utara nampak gugusan pegunungan Serayu. Ketika subuh apabila cuaca lagi cerah nampak puncak gunung Selamet menjulang di sebelah barat laut, sedang di sebelah timur laut akan nampak puncak gunung Merapi dan Merbabu dari gugusan pegunungan menoreh.

Hamparan sawah yang luas menandakan bahwa penduduknya mengandalkan bercocok tanam padi sebagai penghidupan utamanya. Dengan ditopang waduk Sempor dan Wadaslintang yang dialirkan melalui sungai Ketek di sisi barat dan sungai Balo disisi timur kelurahan ini mampu memanen padi dua kali dalam setahun. Sedang pada musim kemarau biasanya ditanami Kacang hijau atau Kedelai, atau bahkan dimanfaatkan untuk membuat bata merah karena memang tanahnya sangat mendukung.

Kontor BPD desa Mangunharjo
Rata-rata penduduk kelurahan Mangunharjo yang berusia produktif untuk ukuran kelurahan sangat sedikit. ketersediaan lapangan kerja yang kurang dan kurangnya minat usia muda untuk bertani membuat kelurahan ini ditinggal para pemudanya, mereka lebih senang merantau untuk mencari kehidupan yang dianggap lebih baik di tempat lain terutama di kota-kota besar. Atau juga mereka meninggalkan desanya untuk mencari ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, karena di kelurahan ini hanya ada satu sekolah dasar. Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP dan SMA harus menyeberang ke wilayah lain walaupun tidak terlalu jauh jaraknya. Sedangkan untuk pendidikan jenjang akademi dan perguruan tinggi mereka harus ke kota besar seperti Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Bandung, Jakarta atau kota-kota lain.
 

Dengan keterbatasan usia produktif tidak menjadi hambatan untuk membangun desa ini. Desa inilah tempat saya dilahirkan dan di besarkan, terlalu sayang untuk dilupakan begitu saja..

Jumat, 17 Oktober 2014

SD Negeri Mangunharjo Adimulyo Kebumen

Tampak depan SDN Mangunharjo
Sekolah merupakan tempat mendidik anak dan berfungsi mengajarkan anak agar menjadi pribadi yang unggul yang dikemudian hari dapat memajukan bangsanya. Di Kelurahan Mangunharjo hanya terdapat satu sekolah dasar, tepatnya di desa Pecangkringan. 

Sekitar tahun 1970 s/d 1990an Kelurahan ini mempunyai dua sekolah dasar yaitu SDN I Mangunharjo di desa Pecangkringan dan SDN II Mangunharjo di desa Bulupayung. Karena SDN II sudah tidak ada lagi maka namaya cukup dengan SDN Mangunharjo. SDN II Mangunharjo pada tahun 1997 resmi telah ditutup dengan berbagai alasan.

Sebelum SDN II lahir SDN ini mendidik semua anak-anak satu kelurahan, Seiring dengan gencarnya program wajib belajar 6 tahun maka berdirilah SDN II. Saya sempat merasakan nikmatnya sekolah di SDN ini walaupun hanya kelas satu. Masih terbayang saat itu saya duduk bertiga dalam satu kursi panjang bahkan kadang 4 anak. dengan dinding anyaman bambu sebagai penyekatnya. 

Sekolah ini banyak meninggalkan kenangan yang tidak pernah dilupakan buat saya dan anak-anak Desa Bulupayung tentunya. Disinilah awal saya bersekolah belajar menulis, membaca dan berinteraksi dengan teman dan guru. Setiap pulang sekolah saya dan teman-teman bergerombol berjalan kaki tanpa alas kaki kadang disetiap perjalanan mampir kesawah hanya sekedar memetik buah padi yang belum mekar untuk di santapnya. Pada saat musim kemarau mencari jangkrik dengan seragam lengkap masih menempel di badan.Yang pada akhirnya tahun 1978 saya dipindahkan ke sekolah baru SDN II Mangunharjo yang berada di desa Bulupayung.

Walaupun sudah pindah ke SDN II ikatan kekeluargaan masih terjaga dengan baik terbukti setiap ada kegiatan atau pertunjukan hiburan selalu diadakan bersama antara SDN I dan SDN II. Buat saya pribadi tidak ada bedanya kedua sekolah tersebut, mungkin karena Bapak saya saat itu masih menjadi guru di SDN I jadi tidak ada pengaruhnya saya sekolah di SD II, karena hampir setiap minggu ke sekolah SDN I.

Pada tahun-tahun tersebut adalah tahun dimana perekonomian dan pembangunan desa masih sangat lamban, kesejahteraan guru juga bisa di ukur berbeda dengan sekarang kesejahteraan guru mengalami peningkatan yang luar biasa. Maka tidak heran saat itu sering Bapak saya membawa oleh-oleh pisang ambon dari kebun pekarangan sekolah SDN I. Atau bahkan pernah memanen kayu hasil tebangan dari pohon sekitar sekolah untuk dibawa pulang untuk dijadikan kayu bakar memasak. Yang memang pada saat itu pekarangan SDN I ditanami berbagai tanaman seperti pisang, pepaya dan kelapa.
SDN Mangunharjo
Itu dulu, berbeda dengan sekarang seiring waktu sekolah SDN Mangunharjo tumbuh menjadi sekolah yang unggul, dambaan dan kebanggaan setiap anak di wilayah Mangunharjo. Bangunan gedung yang mewah, dengan gapura masuk yang menawan menjadi nilai lebih. Geografi yang strategis di tengah-tengan wilayah kecamatan Adimulnyo dengan jalur lalu lintas wisata SDN ini nampak anggun menghiasi sisi jalan utama kecamatan.

Begitulah sekelumit tentang sekolah dasar negeri Mangunharjo kecamatan Adimulyo kabupaten Kebumen, Sekolah yang pernah membimbing saya walaupun tidak lama tetapi masih ku ingat deretan nama guru yang selalu membimbingku seperti Bapak Wasio, Bapak Tuslan, Bapak Sudarjo, Bapak Sutarno, Bapak Marsudi, Bapak Jaelani, Bapak Salimin, Bapak Suyudi dan yang sangat teristimewa untuk Bapak Turiman yang luar biasa buat saya .... Majulah terus SDN Mangunharjo.. !!!

 

Jumat, 03 Oktober 2014

SD Negeri II Mangunharjo Kebumen Riwayatmu Kini

Sisa-sisa peninggalan SDN II Mangunharjo
Sore itu langit bersih sinar matahari sudah mulai berubah warna menjadi kejinggaan, bertanda hari akan berganti menjadi malam. Saya masih asik melihat burung merpati yang ada dalam sangkar dan keceriaan orang-orang sambil memainkan burung merpati. Tampak beberapa burung merpati terlihat menukik dari angkasa sementara seseorang sibuk mengibaskan tanganya sambil memegang burung merpati. Begitulah suasana di halam bekas sekolah setiap sorenya.

Yah.... halaman sekolah yang cukup luas, sesekali pandangan mataku berkeliling kepenjuru sudut halaman. Terdapat sebuah bangunan yang berantakan dengan puing berserakan di sekitanya, pikiranku menerawang ke masa lalu. Bangunan itu dulu adalah ruangan kelas yang pernah ku tempati ketika saya masih kelas IV SD. Kemudian bangunan di belakanganya  adalah bekas kamar mandi / kamar kecil, disumur itulah ketika ku kecil saat musim kemarau Bapak saya dan saudara-saudaraku sering mengambil air, karena sumur dirumah kering. 

SDN II Mangunharjo adalah sekolah impres dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,. Saat itu pemerintah sedang menggalakan wajib belajar 6 tahun maka tidak heran setiap kelurahan bermunculan sekolah-sekolah baru. SDN II Mangunharjo di prioritaskan untuk anak-anak desa Bulupayung dan Duduhan. Sekolah pada saat itu hanya ada di Desa Pecangkringan untuk ukuran pada jaman itu sangatlah jauh jarak tempuhnya. Saat itu moda transportasi adalah sesuatu yang mahal walaupun hanya sekedar Sepeda ontel.
.
Pintu gerbang sekolahanku dulu

Seingat saya SDN II Mangunharjo berdiri tahun 1977 tapi resmi digunakan tahun 1978. Saat itu semua anak-anak Bulupayung bersekolah ke desa Pecangkringan dengan berjalan kaki tanpa sepatu. Pada saat peresmianya anak-anak kelas satu sampai kelas empat yang tinggal di desa Bulupayung dan Duduhan yang bersekolah di SDN I Mangunharjo dianjurkan pindah ke SDN II. Dengan diiringi kesenian kuda lumping dan Barongan saya dan teman-teman seusiaku berjalan kaki dari SDN I ke SDN II. Kegembiraan terpancar dari setiap wajah-wajah kami, karena kami akan bersekolah ke yang lebih dekat.

Banyak manfaat dengan keberadaan sekolah tersebut, selain kami tidak lagi jauh berangkat sekolah, gedung sekolah tersebut juga sering dimanfaatkan oleh masyarakat desa Bulupayung untuk mengadakan pentas seni atau berbagai kegiatan yang bersekala besar karena memang desa kami tidak mempunyai gedung pertemuan. Selain itu juga ketika penduduk desa Bulupayung mempunyai hajat sering memanfaatkan kursi dan meja sekolah tentunya melalui ijin dulu kepihak sekolah.

Seiring waktu berjalan sekolah tersebut berkurang jumlah siswanya, bukan karena tidak ada peminantnya tetapi usia wajib sekolah semakin sedikit. Mungkin juga usia keluarga muda di desa Bulupayung sedikit akibat dari banyaknya urbanisasi anak-anak muda, atau juga berhasilnya program KB yang digiatkan oleh pemerintah. 

Sekitar tahun 1997 resmilah SDN II Mangunharjo ditutup selain jumlah siswanya berkurang bangunanya juga tidak layak untuk ditempati. Karena berbagai alasan bangunan sekolah tersebut tidak diperbaiki atau bahkan direnovasi.

Banyak cerita yang bisa diingat, disitulah saya dan temen-teman belajar, bermain dan bercanda, berantem dan bersahabat. Di belakang sekolah itu saya dan teman-teman memetik buah salam ketika waktu istirahat, menikmati jajanan milik Wa Suwuh dan Wa Sudi. Di halaman sekolah itu saya dan teman-teman bermain gelang karet, bermain pentak umpet, berlari-larian. Di sekolah itulah saya dan teman-teman melakukan kegiatan Kepramukaan dengan bimbingan pak Suratman, belajar menari dengan bimbingan pak Daryan melakukan pentas seni tari dan sempat belajar beladiri setiabudi dengan bimbingan pak Sugeng.

Apapun namaya sekarang SDN II Mangunharjo tidak akan kulupakan, buku rapot dan ijazah yang kusimpan dilemari saat ini masih tertera namamu dan ku kenang selalu guru-guru yang mengajar dulu seperti Bapak Wasio, Bapak Sri Budiono, Bapak Jaelani, Bapak Tuslan, Bapak Saheri, Bapak Suratman, Bapak Sudarjo, Bapak Samingun dan masih banyak lagi.

Karena hari mulai gelap akhirnya kami membubarkan diri dan kembali lagi pada esok sorenya masih dalam rangka kegiatan yang sama yaitu main burung Merpati. Begitulah suasana halaman sekolah SDN II Mangunharjo sekarang, tidak ada penyesalan sekolah runtuh tetapi disitulah kami dibentuk, yang akhirnya saya menjadi sekarang ini... BANGGA.?, itu pasti..

Senin, 15 September 2014

Jalan Antara Bulupayung dan Pecangkringan


Jalan penghubung Desa Bulupayung dan Pecangkringan

Siang itu langit sangat cerah hanya sedikit awan kecil melintas, saya masih duduk diatas jok sepeda motor yang berhenti di pinggir jalan yang di tumbuhi rumput. Jalan yang jadi penghubung antara desa Bulupayung dengan Pecangkringan kelurahan Mangunharjo kecamatan Adimulnyo Kebumen.

Jalan yang membelah persawahan dengan barisan pohon jati menjadikan siang itu tidak terasa panas, apalagi dengan tiupan angin dan suara gesekan pohon padi dan daun jati, jauh dari suara bissing kendaraan. menjadikan enggan untuk beranjak dari tempat. Walau suasana sepi tetapi saya tau betul jalan itu jauh dari orang-orang jahat, bahkan tidak sedikit setiap orang lewat akan menganggukan kepala atau sekedar senyum sebagai ciri khas budaya salam sapa masyarakat pedesaan. Senyum sapa yang mulai jarang di temukan di kota-kota besar. 

Di jalan itu, jalan penghubung antar desa, yang dulu merupakan tempat favorit bermain anak-anak kecil, tempat penggembala kambimg, tempat bermain layang-layang, tempat mencari ikan dikala musim penghujan dan tempat tongkrongan anak muda, itu dulu. Tetapi sekarang seiring dengan kemajuan jaman tempat itu hanya dijadikan tempat obrolan bapak-bapak sehabis menengok sawah atau tempat istirahan bapak petani dikala sedang membajak sawah. 

Tetapi ada pemandangan yang sejak dulu hingga sekarang belum hilang, yaitu bila musim panen tiba disisi sepanjang jalan tersebut akan selalu di manfaatkan untuk menjemur padi. Seperti pada saat itu kurang lebih 300 meter panjangnya berderet rapi jemuran padi. Cukup membuat warna tersendiri tentang suasana kehidupan masyarakat pedesaan.
Berderet Jemuran Padi yang memanfaatkan sisi jalan

Bila dibandingkan dengan hiruk pikuknya kota besar maka rasa syukurku kepada sang pencipta akan muncul, syukur karena saya ditakdirkan lahir dan besar di kampung, disitulang jiwa dan watak saya terbentuk yang akan melahirkan sifat ulet, berani susah dan pantang menyerah jauh dari kesombongan. Walau di kemudian hari akan hidup di kota atau di daerah lain paling tidak bawaan sifat dan didikan ala kampung akan membekas untuk modal hidupku. Tanpa bermaksud mengecilkan orang yang terlahir di kota.

Begitulah gambaran sedikit tentang desaku desa Bulupayung yang selalu kurindukan dimanapun saya berada. Ada ungkapan semakin jauh dari kampung halaman semakin rindu akan tradisi dan budayanya. Bagi sobat yang punya waktu yuk kita tengok tanah kelahiranya...

Selasa, 02 September 2014

Sore di Ujung Desa Bulupayung

Di pertigaan jalan itulah saya dan istriku menikmati indahnya sore hari
Bulupayung itulah nama desaku desa yang masuk wilayah kelurahan Mangunharjo kabupaten Kebumen merupakan desa terpencil yang di kelilingi persawahan. Desa yang selalu kurindukan dimanapun saya berada. Tak terkecuali hari itu yang kebetulan musim panen sangat membangkitkan gairahku untuk melihatmu.
 
Saat itu di handphon saya menunjukan arah jam 15.18 menit, kedua anaku sedang asik bermain bola dengan anak-anak sebayanya, tidak mau mengganggunya. Akhirnya saya ajak istriku berkeliling desa disore itu dengan menaiki sepeda motor. Setelah puas berkeliling saya berhenti di sudut desa sebelah barat daya, karena disitulah panorama dan suasana yang sangat menguntungkan untuk sekedar duduk berduaan. Hamparan sawahnyang menguning untuk siap dipanen dan kesibukan para petani yang berlalu lalang di pematang sawah sangat mengingatkan masa kecilku dulu.
.
Saya berdiri menatap kepenjuru arah sawah sambil sesekali tanganku memainkan handphone, Sementara istriku mengambil posisi duduk di jembatan kecil sambil memandang hamparan sawah. Tiba-tiba terdengan suara laki-laki memanggil namaku, dan sepertinya suara itu sangat ku kenal, yah... suara itu suara temenku waktu kecil dulu, ternyata dia habis selesai menjemur padi (gabah). Maka terjadilah obrolan tentang kisah hidup masing-masing, tak lupa ku kenalkan istriku ke temanku itu. Cukup lama juga saya ngobrol dengan di selingi gurauan akhirnya dia pamit pulang dan saya melanjutkan menikmati indahnya sore.

Saat matahari terbenam

Sore itu orang masih sibuk dengan rutinitasnya, sibuk memanen padi, sibuk menjemur padi atau hanya sekedar berjalan-jalan melihat-lihat sawah. Di langit sebelah barat matahari sudah berubah warna menjadi kemerahan bertanda hari mulai sore. Saya masih berdiri menatap enggan untuk meninggalkan tempat itu. Diselingi cerita masa kecil dulu kepada istriku. Seperti biasa saya selalu mengabadikan setiap tempat yang dirasa bagus dan mempunyai nilai sejarah buat saya dengan kamera handphone. Mulutku teus ngoceh tentang masa kecil kepada istriku serasa ada kebangggaan yang mau kutunjukan, dengan tetap memainkan camera handphone.  pokoknya gemaguslah..
.

Setelah puas mengambil gambar barulah saya duduk di samping istri sambil menunjukan hasil jepretan camera handphone. Ada gambar aneh dari hasil jepretan saya disitu terlihat album foto matahari terbenam, nampak seperti ada lubang cahaya matahari yang muncul dari tengah sawah. Mungkin itu hanya sebuah pantulan cahaya kamera sehingga membentuk hasil gambar yang menarik. yang kuanggap hasil foto terbaiku di moment itu.
 
Hasil foto yang ku ambil dengan Handphon, nampak seperti ada lubang di tengah sawah
Setelah puas ngobrol dan menikmati indahnya sore hari di desaku dan jam di handphone sudah menunjukan pukul 17.45. Saya mengajak pulang istriku, kawatir kedua anaku mencarinya.  Saat itu di sawah masih ada beberapa orang yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaanya.

Begitulah cerita sekelumit tentang Desaku yang menurut saya cukup mempesona, desa dimana dulu saya dilahirkan dan di besarkan. Di desa inilah saya di didik menjadi karakter pribadi yang mandiri, dengan harapan orang tua mampu menjadi manusia yang mandiri dan ulet.

Selasa, 05 Agustus 2014

Bulupayung Ditinggal Burung Manyar


Kantor balaidesa Mangunharjo dengan sawahya yang mulai menguning
Saat ini didesaku Bulupayung sedang musim panen padi. Sebuah kebahagiaan bagi para petani karena inilah saat yang terindah. Tetapi pada beberapa tahun belakangan ini ada yang kurang di desaku.  Yah.... kurang kicauan burung.. Biasanya disaat musim panen padi seperti sekarang, akan muncul segerombolan burung Manyar. Burung kecil nan lincah dengan suara melengking seperti terompet. Burung Manyar adalah burung pemakan biji-bijian, bertempat tinggal pada daerah rawa berumput, semak-semak dan persawahan.

Burung ini biasanya berbiak mulai bulan April hingga Oktober. Si jantan yang doyan kawin, mempu memikat sibetina 2-3. Si betina dapat bertelur 2-4 telur dan mengeraminya, tanggungjawab perawatan keturunan diserahkan pada si betina. Sedang Si jantan mencari pacar baru yang kelak akan dinikahi dan kembali berpopulasi. 

 
Saat masa kecilku dulu sekitar tahun 1980 s/d 1990 an, hampir setiap musim panen padi burung Manyar terlihat dalam gerombolan besar di area persawahan dan akan membangun sarang di pucuk-pucuk pohon kelapa deket rumah.  Pokoknya disekitar rumahku dulu hampir seperti pasar burung, karena begitu banyaknya dan ramainya kicauan burung Manyar. Tetapi pada saat ini hampir tidak lagi terlihat apalagi mengenal siburung mungil nan centil ini. Jangankan sarangnya, burungnya pun jarang ada yang tau kemana gerangan keberadaanya. 

Masih teringat, ketika musim panen padi tiba, sayapun dengan sendirinya akan panen burung ini. Memelihara burung Manyarpun seperti musim panen, karena untuk mendapatkan burung ini cuma bisa saat musim panen. Bukan cuma saya hampir setiap anak seuisiaku dulu dirumahnya selalu bergelantung sangkar burung berisis burung Manyar. Selain mudah mendapatkanya, pakanya pun tidak terlalu sulit cukup dengan beras atau pisang. 


Selain pintar menghitung hari, dengan kapan dia datang dan pergi. Burung cantik inipun ahli dalam membangun rumahnya. Selain merencanakan bentuk rumah di mulai dari mencari material sarang, mengankutnya, sampai penyelesaian pembangunan sarang semua dikerjakan sendiri tidak pake tender. Diawali dengan memilih batang daun kelapa yang cocok dan kuat sebagai tiang penopang sarang. Mulailah menganyam dengan telaten hingga membentuk sarang yang indah dan menawan. Untuk membuat sarang dibutuhkan material yang kokoh dan panjang sehingga menghasilkan ikatan yang cukup kuat. Mereka menyayat daun kelapa, beberapa ada yang menyayat rumput yang besar, bahkan memanfaatkan tangkai buah padi. 


Begitu indahnya burung Manyar tapi sayang sekarang tidak akan dijumpai lagi. Burung yang dulu dianggap sebagai hama pertanian, kini menjadi sangat sulit ditemui di alam desaku. Beberapa sebab mengapa burung ini sulit dijumpai saat ini. Mungkin juga karena perburuan untuk peliharaan, komsumsi dan tingkat keberhasilan hidup si burung tersebut. Kasian Dia, imbasnya kita tidak bisa menikmati indahnya dan centilnyaa tingkah laku si burung mungil ini. Kini saya sadar, betapa berharganya dirimu di mataku ketika dirimu tidak ada.... 

Senin, 04 Agustus 2014

Bulupayung Panen Raya

Musim panen adalah musim yang sangat di nanti oleh setiap petani tak terkecuali di desaku Bulupayung. Setelah hampir menunggu beberapa bulan dari musim tanam kini saatnya menikmati hasilnya. Sebagai seorang petani panen adalah sebuah anugerah dan kebahagiaan. Walaupun panen tahun ini tidak sempurna seperti tahun lalu, karena adanya serangan hama wereng, paling tidak ada sedikit harapan untuk dapat menikmati jerih payah selama ini.
Berikut beberapa gambar yang saya abadikan lewat ponsel...

Nampak pohon jati dengan dikelilingi padi yang menguning di desa Mangunharjo

Hamparan padi menguning di desa Mangunharjo

Panen raya di desa Bulupayung

Panen segera tiba di desa Bulupayung
Sisi sudut utara Desa Bulupayung
 
Indahnya desaku Bulupayung
 
Pemandangan asri Desa Bulupayung
Pemandangan Asri desa Bulupayung
 
Panen telah tiba


Kamis, 31 Juli 2014

Saat Merayakan Lebaran di Kampungku


Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh....

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum, mohon maaf lahir batin... Selamat hari raya Idul Fitri 1435 H /2014 M

Alhamdulillah tahun ini saya bisa merayakan lebaran di kampung halamanku desa Bulupayung,  kampung dimana saya dilahirkan dan dibesarkan. Disinilah saya di tempa diasuh dibimbing oleh kedua Orangtuaku dan kepribadianku terbentuk oleh tradisi kampung. Saya tidak menyesal tapi malah sangat bersyukur, masa kecil dikampunglah yang membentuk sifat kepribadianku, karakter yang berani, ulet, gigih dan bertanggung jawab. Itu kata orang-orang sih....heheheee....

Peristiwa lebaran buat saya sianak kampung adalah momen yang paling ditunggu selama setahun. Karena disinilah kami mendapat kesempatan pulang setelah lama hidup di perantauan, melestarikan tradisi nenek moyang saya dulu, yang sekarang sedikit mulai ditinggalkan atau bahkan hilang, "SILAHTURAHMI". Ya.... Silaturahmi di era moderen seperti sekarang sudah mulai tergeser dengan teknologi digital yang makin berkembang. Kalau dulu orang merayakan lebaran dengan saling berkunjung ke rumah kerabat dan tetangga untuk minta maaf, kini tradisi itu berganti dengan saling kirim SMS, BBM, Whatsapp, atau saling mengirim komentar di status jejaring sosial seperti facebook, twitter, path dan masih banyak lagi. Lebih parah lagi kalau sedang malas, karena alasan sibuk, ucapan minta maaf cuma dikirim lewat SMS, BBM atau Whatsapp. Sekali pencet ‘kirim’, ucapan minta maaf langsung terkirim ke semua kerabat dan teman. Sangat praktis dan efisien, tapi apa harus seperti itu ?, dimana makna Idul fitri yang katanya hari kemenagan ?, yang kata orang-orang bijak hari dimana kita memperoleh kemenagan setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.
Beruntung saya lahir dan besar di desa Bulupayung kelurahan Mangunharjo kecamatan Adimulyo, Kebumen, sebuah kampung kecil di tengah sawah. Sampai saat ini, tradisi silaturahmi saat lebaran masih ada. Pagi, setelah sholat Ied, saya melakukan sungkeman kepada Ibu Bapak, dilanjutkan saling maaf maafan dengan kakak, adik beserta ponakan-ponakan. Setelah itu baru dilanjutkan makan bersama kemudian beberes rumah mempersiapkan kue-kue lebaran untuk dihidangkan. Karena beberapa saat lagi para tetangga akan mulai berdatangan untuk bersilaturahmi.  Setelah itu giliran saya sekeluarga saling berkunjung dari mulai saudara terdekat kemudian keliling kampung bersilahturahmi dengan tetangga, meminta maaf setiap kesalahan selama setahun yang telah diperbuat.

Ada peristiwa yang sangat spesial disetiap hari lebaran yaitu sebagai bentuk rasa syukur, kita bisa saling berbagi rejeki kepada ponakan, anak-anak kecil, anak-anak yatim dan kaum dhuafa, walaupun jumlahnya tidak banyak tetapi nilainya jauh lebih besar. Bukan berarti dihari biasa tidak bisa berbagi, tetapi suasanaya yang membuat berbeda.

Dihari ketiga atau kempat setelah lebaran biasanya saya sekeluarga melakukan wisata untuk menyegarkan pikiran sambil memperkenalkan alam lingkungan kepada anak-anak kami, tentunya sambil menceritakan masa kecil. Tujuanya tinggal pilih bisa kepantai petanahan, suwuk, logending/ayah atau ke Gua jatijajar karena cuma itu yang ada. Berharap dikemudian hari anak-anak kita mempunyai rasa bangga dan rasa bersyukur terhadap apa yang telah dia peroleh.

Begitulah makna lebaran bagi anak kampung seperti saya. Kami pulang untuk bertukar maaf dengan kerabat dan para tetangga. Kami pulang untuk melepas rindu pada keluarga tercinta, pada damainya hidup bertetangga, pada indahnya pemandangan desa yang tidak kami temui di kota, pada tradisi yang tak ingin kami tukar dengan teknologi secanggih apapun. Iya...apa ora..?

Senin, 21 Juli 2014

Cerita Mudik Lebaran ke Bulupayung


Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh....
Sebelumnya saya mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1-2 Syawal 1435 H / 28-29 Juli 2014 M. Taqabbalallahu Minna Wa Minkum mohon maaf lahir batin...

Lebaran seminggu lagi tetapi terasa lama sekali, bukan karena ingin cepat selesai menjalankan ibadah puasa tetapi ingin cepat mengunjungi orang tua di kampung tercinta. 

Seperti sudah menjadi rutinitas tiap lebaran selalu mewajibkan diri untuk pulang kampung, walaupun butuh perjuangan untuk dapat sampai ke tujuan seperti harus siap menghadapi kemacetan perjalanan, jam tempuh perjalanan yang kadang bisa 24 jam lebih, tetapi itu tidak menghambat semangat mudik.

Banyak cerita yang kita dapat dari perjalanan mudik dari mulai berangkat sampai tempat tujuan. Dan ketika sampai ke kampung halaman seribu perasaan yang kita dapat, bermacam bayangan masa lalu akan muncul dipikiran. Perayaan hari raya lebaran bagiku penuh dengan liku-liku, banyak kejadian yang membutuhkan banyak sabar selama mudik bahkan. Begitu banyak cobaan datang tapi bukan itu yang membuatnya bermakna, tapi maaf dari semua insan yang pernah kusakiti. Maaf dari Ibu dan Bapak yang ku cinta! kerabat dan teman sekampung serta suasana lebaran di kampung halaman.

Tapi ada makna yang begitu berharga saat mudik dan melihat keindahan kampung halamanku, suasana keasrian kampung halamanku. Ibaratnya limit 0 menuju 0, tak terhingga!! Begitu indah, kampung halamanku, Bulupayung. Suara petasan yang bersautan, suara takbir dari Mushola hingga hilir mudik para remaja dengan gayanya yang kenes. Begitu juga para perantau yang tak mau ketinggalan selalu ingin menunjukan kesuksesanya di peratauan.

Momen lebaran di kampung halaman yang berkesan ialah ketika berbagi sehari sebelum lebaran dengan kaum dhuafa,  hanya bisa berbagi sedikit tapi senyum diwajahnya luar biasa. Senyum itu yang membuatku bahagia.  Orang tuaku yang luar biasa mengajarkanku untuk tanggap kepada kaum dhuafa dan anak yatim. Karena dibalik keindahan negeri Indonesia masih banyak rakyat jelata yang membutuhkan uluran tangan kita, sedikit tapi begitu berharga bagi mereka.

Di hari yang fitri ini, mari berbagi kebahagiaan menyisihkan rezeki untuk kaum dhuafa, anak yatim dan saudara kita yang membutuhkan..!!!

Senin, 30 Juni 2014

Ketika di Sudut Desa "Bulupayung"

Hari itu Kamis Juni 2014 saya pulang kampung untuk menghadiri pernikahan saudara sepupu. seperti biasanya setiap pulang kampung selalu keliling kampung dengan naik motor di temanin anak laki-laki saya, sambil bercerita masa kecil. Tempat faforit saya yaitu di sudut utara dan sudut selatan desa karena di sanalah banyak kenangan masa kecilku. 

Sambil bergaya seperti foto model saya dan anaku mengabadikanya dengan Handphone jeprat sana jepret sini setelah puas saya duduk di jembatan sudut desa sebelah selatan sambil memandangi hijaunya sewah. Pikiranku menerawang ke masa lalu ditempat inilah dulu saya bermain dengan adik dan teman saya dari mulai sekedar melihat orang main burung merpati sampai cuma duduk-duduk. Di tempat ini juga saya dengan teman sebaya bermain layangan, mencari ikan dan masih banyak lagi. 

Dan masih kebayang sekitar tahun 1980-an, bagaimana masa kecilku bersama adik dan Bapaku setiap pulang sekolah pergi ke sawah membantu mencabut benih padi "ndaut", nyangkul, mencabut rumput "matun". Sambil menikmati kiriman makanan dari Ibu komplit dengan nasi putih, tempe dan sayur nangka tentunya dengan sambelnya, terasa nikmat luar biasa. Itu rutin dilakukan setiap musimnya.

Pematang sawahlah tempat faforitnya di tempat itulah berbagai kenangan tercipta dari mulai ngobrol serius dengan Bapak Ibu dan Saudara saya atau hanya sekedar bercanda atau bahkan lempar-lemparan lumpur. Pokoknya sangat mengasikan.
Pematang sawah merupakan batas antara petak sawah yang satu dengan petak yang lain. Sehingga hak dan kwajiban dibatasi oleh pematang ini. Sehingga tidak ada tumpang tindih antara petani satu dengan lainnya dalam satu area sawah yang saling berdampingan. Pematang sawah adalah sebuah komonitas, yang membedakan tanaman satu dengan tanaman yang lainya.



Pematang sawah juga menjadi saluran irigasi, dimana ribuan hektar petak sawah akan mendapatkan irigasi, keadilan dan pemerataan disini sangatlah mutlak, agar tidak menimbulkan keribuatan di saat sawah-sawah memerlukan irigasi. Diperlukan pengaturan yang khusus namun tidak pernah tertulis dalam hal ini, sering kali hukum adat yang mengaturnya. Dan peraturan ini sangat dipatuhi oleh pemilik lahan.

Pematang sawah juga merupakan pelindung, agar air yang masuk petak tidak keluar mengaliri petak tetangga.
Pematang sawah juga tempat pavorit anak-anak bermain, bersenda gurau, bermain lumpur disaat musim garap sawah tiba, dan tempat berlarian anak-anak yang main layang-layang. Dan pematang sawah ini juga merupakan tempat pavorit untuk mencari belut atau kepiting semasa anak-anak dulu.