Senin, 30 Januari 2012

‘Joko Sangkrib’ Asal Muasal Kebumen

http://kebumennews.com/wp-content/uploads/2014/03/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_straat_met_woningen_van_het_personeel_van_fabriek_Keboemen_van_de_N.V_1.jpg 

Kebumen berasal dari kata Ki Bumi. Nama ini diambil dari Ki Bumidirjo, paman Amangkurat IV yang memilih meninggalkan istana (keraton) Mataram karena tidak sepaham dengan Amangkurat yang membela kompeni. Nama asli Ki Bumi adalah Pangeran Bumidirjo. Ia memilih menjadi petani biasa dan membangun basis tani di daerah Kebumen. Pelan tapi pasti tokoh yang melahirkan perlawanan damai di Kebumen melawan kompeni mendapat dukungan dari para petani dan masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Lukulo. 

Kemenakannya Joko Sangkriblah yang meneruskan perjuangannnya mendirikan Desa Kebumen dan melahirkan toponim di setiap desa yang dilaluinya. Desa Kebejen, Pesalakan, Tunjungseto, Kawedusan, Kembaran, Panjer, Kuwarisan, Pejagoan, Kewayuhan, dan Kedawung adalah beberapa desa yang diberikan nama atas topo kemayingan yang dilakukan Joko Sangkrib. Joko Sangkrib menjadi bupati pertama Kebumen bergelar Aroembinang.

Joko Sangkrib atas ajaran Ki Bumi melawan penjajahan Kompeni dan berhasil mendirikan Kadipaten di Kutowinangun, Karena serangan Belanda Pusat kota dipindah ke Ambal, sehingga terkenal dengan nama Kadipaten Ambal. Seberang sungai Lukulo terdapat Kadipaten Karanganyar yang dikuasai Kompeni. Pada tahun 1942 Kadipaten Karanganyar akhirnya berhasil direbut kembali oleh pejuang dengan damai, dan mendeklarasikan bergabung dengan kadipaten Kutowinangun dan berpusat di Kebumen sampai hari ini. Tahun itu menjadi penentuan hari lahir Kebumen berdasar atas peraturan Bupati Kebumen tahun 1995.

Saat ini marak tuntutan untuk menelisik sejarah Kebumen bukan sekedar penggabungan Karanganyar dengan Kutowinangun (versi lain) Panjer, tetapi sejarah yang lebih tua dirunut dari proses masuknya pangeran Bumidirja ke Kebumen bahkan lebih tua lagi sejak masa atlantis purba (versi Dr. Fajar).
Menurut Dr. Fajar, dosen UIN Yogyakarta Kebumen dulunya adalah ibukota Negara Atlantis Purba. Terbukti dengan nama-nama yang identik dengan simbol-simbol yang ditemukan pada manuskrip Plato tentang Atlantis yang diungkap oleh peneliti Aryso Santos. Dalam Buku Nagara karya Dr. Fajar di sini (Kebumen) terdapat sungai Lukulo yang sebenarnya adalah sungai langit, yang bersumber dari Karangsambung (batu karang laut yang saling tersambung). Kata Nagara sendiri adalah Naga : Ulo dan Ra adalah dewa Api yang bersembunyi di gunung Karangsambung.

Perlu dikemukakan batuan di wilayah Karangsambung adalah batuan tertua di dunia yang muncul ke permukaan. Batu Rijang adalah batu yang hanya terdapat di dasar laut karena terbentuk dari endapan lumpur dan garam jutaan tahun yang lalu. Selain itu bentuk-bentuk batuan di Karangsambung menunjukkan dunia purba dengan ditemukannya fosil-fosil pohon, dan kepala ikan, serta gerabah.
Saat ini Kebumen adalah Kabupaten yang memiliki dua puluh enam (26) kecamatan dan empat ratus lima puluh desa (450). Adapun nama-nama kecamatan di wilayah Kebumen adalah sebagai berikut. Kecamatan Adimulyo, Kecamatan Alian, Kecamatan Ambal, Kecamatan Ayah, Kecamatan Bonorowo, Kecamatan Buayan, Kecamatan Buluspesantren, Kecamatan Gombong, Kecamatan Karanganyar, Kecamatan Karanggayam, Kecamatan Karangsambung, Kecamatan Kebumen, Kecamatan Klirong, Kecamatan Kutowinangun, Kecamatan Kuwarasan, Kecamatan Mirit, Kecamatan Padureso, Kecamatan Pejagoan, Kecamatan Petanahan, Kecamatan Poncowarno, Kecamatan Prembun, Kecamatan Puring, Kecamatan Rowokele, Kecamatan Sadang, Kecamatan Sempor, Kecamatan Sruweng.

Sumber :  http://kebumennews.com/toponimi-joko-sangkrib-asal-muasal-kebumen/

Senin, 23 Januari 2012

Sejarah Cikal Bakal Kabupaten Kebumen


foto arungbinang bupati kebumen
                                             
Foto  Arungbinang bupati kebumen, dan Putri bungsunya

Panjer adalah nama sebuah Desa/ Kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah. Nama Panjer sendiri telah lama dikenal, jauh sebelum nama Kebumen itu ada, tepatnya sejak masa Pra Islam. Satu hal yang sangat disayangkan adalah “ Nyaris hilangnya riwayat Panjer Kuno baik dalam masyarakat di wilayah tersebut maupun dalam pengetahuan masyarakat Kabupaten Kebumen pada umumnya ”. Kurangnya perhatian dan pemeliharaan terhadap situs bangunan peninggalan bersejarah dan budaya masa lampau yang terdapat di daerah itu tentunya sangat memprihatinkan, mengingat Panjer adalah cikal bakal berdirinya Kabupaten Kebumen yang telah dikenal sejak 1000 tahun yang lalu sebagai salah satu wilayah yang diperhitungkan dalam ranah nasional. Beberapa Raja dan Tokoh Besar Nusantara pun menggunakan tempat ini sebagai pengungsian, penyepian, basis pertahanan militer bahkan Pamoksan mereka (Maha Patih Gajah Mada Moksha di tempat ini). Sebagai desa yang kini berbentuk kelurahan, Panjer tetap khas dengan rasa dan suasana masa lampaunya.

Panjer dari Masa ke Masa
A. Panjer zaman Kerajaan Kediri
 
Wilayah Panjer sebagai sebuah kadipaten/ Kerajaan telah dikenal dalam ranah nasional pada masa kerajaaan Kediri. Dalam Kitab “Babad Kedhiri“, disebutkan:
Babagan kadipaten Panjer dicritakake nalika Adipati Panjer sepisanan mrentah ing Panjer, duwe kekareman adu pitik. Sawijining dina nalika rame-ramene kalangan adu pitik ing pendhapa kadipaten, ana salah sijine pasarta sing jenenge Gendam Asmarandana, asale saka Desa Jalas. Gendam Asmarandana sing pancen bagus rupane kuwi wusana ndadekake para wanita kayungyun, kalebu Nyai Adipati Panjer. Nyai Adipati sing weruh baguse Gendam Asmarandana uga melu-melu kayungyun. Kuwi ndadekake nesune Adipati Panjer. Nalika Adipati Panjer sing nesu kuwi arep merjaya Gendam Asmarandana kanthi kerise, Gendam Asmarandana kasil endha lan suwalike kasil nyabetake pedhange ngenani bangkekane Adipati Panjer. Adipati Panjer sing kelaran banjur mlayu tumuju Sendhang Kalasan sing duwe kasiyat bisa nambani kabeh lelara. Nanging durung nganti tekan sendhang kasil disusul dening Gendam Asmarandana lan wusana mati. Gendam Asmarandana sing weruh Adipati Panjer mati banjur mlayu tumuju omahe nanging dioyak dening wong akeh. Gendam Asmarandana sing keweden banjur njegur ing Sendhang Kalasan. Wong-wong sing padha melu njegur ing sendhang, kepara ana sing nyilem barang, tetep ora kasil nyekel Gendam Asmarandana. Wong-wong ngira yen Gendam Asmarandana wus malih dadi danyang sing manggon ing sendhang kuwi. Sabanjure kanggo ngeling-eling kedadeyan kuwi digawe pepethan saka watu sing ditengeri kanthi aran Smaradana, mapan ing Desa Panjer.
B. Panjer sebagai Tempat Mokhsanya Maha Patih Gajah Mada.
 
Maha Patih Gajah Mada adalah salah satu tokoh termasyhur pada zaman Kerajaan Majapahit yang telah berhasil menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapanya. Dari berbagai literatur yang ada belum pernah didapati mengenai riwayat lengkap mengenai kelahirannya, keluarga dan kematiannya. Sosok Gajah Mada hingga kini menjadi suatu misteri bagi sejarah Nusantara. Akhir – akhir ini banyak bermunculan klaim terhadap lokasi kelahiran dari Maha Patih Gajah Mada, akan tetapi mengenai Pamokshannya ( tempat bertapanya Beliau hingga hilang dengan raganya seperti tradisi tokoh – tokoh besar Jawa jaman dahulu ) tidak pernah diketahui. Satu – satunya situs Pamokshan Gajah Mada yang sejak dahulu telah diketahui masyarakat pada zaman Mataram Islam adalah di Kabupaten Panjer. Situs tersebut kemudian dihilangkan bersama kompleks makam kuno yang ada di sana oleh Belanda dengan mengubahnya menjadi pabrik minyak kelapa Sari Nabati. Hal ini senasib dengan situs kerajaan Kediri yang kemudian diubah Belanda menjadi pabrik gula Mamenang Kediri. Pernah muncul klaim mengenai pamokshan Gajah Mada di suatu gua di balik sebuah air terjun di Jawa Timur. Klaim tersebut berdasar pada pemahaman sekelompok orang terhadap Gajah Mada yang disamakan dengan Patih Udara alias Patih Tunggul Maniq ( Patih Majapahit sebelum Gajah Mada ). Tentunya dasar landasan tersebut sangat tidak tepat jika mengacu pada literatur Dr. J. Brandes yang diturun dari kitab – kitab babad Jawa yang berhasil ditemukan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Literatur Dr. J. Brandes menyebutkan sebagai berikut :
Kyai Patih Udara als kluizenaar Tunggulmaniq op den berg Mahameru; zijne 2 plichtkinderer : Ki Tanpa Una en Ni ( of Dewi ) Tanpa Uni de door Siung Wanara in de Karawang rivier geworpen vorst en vorstin van Pajajaran. Rijksbestuurdeerna Patih Udara vertrek : Patih Logender, diens broer, gehuwd met eene dochter van den Adipati van Gending……
Brawijaya – Patih Wirun
Bra Kumara – Patih Wahas ( zoon van Wirun ) en daarna Ujungsabata.
Ardiwijaya – Patih Jayasena ( zoon van Wahas, dipati van Kadiri)
Adaningkung of Kala Amisani – Patih Udara
Kencana Wungu – Patih Logender
Mertawijaya – Patih Gajah Mada
Angkawijaya – Patih Gajah Mada
………
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa Gajah Mada bukanlah Tunggul Maniq, sehingga Pamoksan Tunggul Maniq yang diklaim di Jawa Timur tersebut bukanlah Pamokshan Gajah Mada. Semakin kuat kiranya situs Pamoksan Gajah Mada yang berada di desa Panjer sebagai situs asli mengingat desa tersebut sejak jaman dahulu selalu menjadi tempat tokoh – tokoh besar Jawa mengungsi, bersemadhi, bersembunyi dan sebagai basis kekuatan militer serta pemerintahan darurat ketika kraton asli direbut oleh pemberontak.
 
C. Panjer Zaman Mataram Islam.
 
Mataram Islam adalah Kerajaan Mataram periode ke dua yang pada mulanya merupakan sebuah hutan lebat yang dikenal sebagai Alas Mentaok, wujud hadiah dari Hadiwijaya (Sultan Demak terakhir) kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya dalam membunuh Arya Penangsang yang merupakan saingan besar Hadiwijaya dalam perebutan tahta Kerajaan Demak. Ki Ageng Pemanahan kemudian membabad hutan lebat tersebut dan menjadikannya sebuah desa yang diberinya nama Mataram. Alas Mentaok itu sendiri sebenarnya adalah bekas kerajaan Mataram Kuno yang runtuh sekitar tahun 929 M yang kemudian tidak terurus dan akhirnya dipenuhi oleh pepohonan lebat hingga menjadi sebuah hutan. Alas Mentaok mulai dibabad oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani sekitar tahun 1556 M. Ki Ageng Pemanahan memimpin desa Mataram hingga Ia wafat pada tahun 1584 M dan dimakamkan di Kotagedhe. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, sebagai pengganti dipilihlah putranya yang bernama Sutawijaya/ Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama, dimakamkan di Kotagedhe).
Panembahan Senopati memerintah tahun 1587 – 1601 M. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Jolang/ Sultan Agung Hanyakrawati (wafat tahun 1613 M dimakamkan di Kotagedhe). Sultan Agung Hanyakrawati digantikan putranya yang bernama Raden Mas Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma (memerintah tahun 1613 – 1646 M). Sultan Agung Hanyakrakusuma digantikan oleh Putranya yang bernama Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I memerintah pada tahun 1646 – 1677 M).
Di dalam “Kidung Kejayaan Mataram Bait 04″ (terjemahan Bahasa Indonesia) disebutkan secara Implisit mengenai keberadaan Panjer.
Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat
berangkatlah rombongan Ki Gedhe ke Alas Mataram
di situ ada di antaranya: Nyi Ageng Ngenis, Nyi Gedhe Pemanahan
Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, dan pengikut dari Sesela
Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir
yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna
Setibanya di Pengging rombongan berhenti selama dua minggu
Sementara Ki Gedhe bertirakat di makam Ki Ageng Pengging
Lalu meneruskan perjalanan hingga ke tepi sungai Opak
Dimana rombongan dijamu oleh Ki Gedhe Karang Lo
Setelah itu berjalan lagi demi memenuhi panggilan takdir
hingga tiba di suatu tempat, di sana mendirikan Kota Gedhe
Ki Gedhe Karang Lo yang dimaksud dalam bait di atas adalah pemimpin daerah Karang Lo (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Karanggayam). Ini artinya sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam pun, Karang Lo yang dahulunya merupakan bagian wilayah dari Kadipaten/ Kabupaten Panjer telah dikenal dan diperhitungkan dalam ranah pemerintahan kerajaan pada waktu itu (Demak dan Pajang).
Teritorial Panjer Masa Lampau
Kerajaan Mataram Islam mengenal sistem pembagian wilayah berdasarkan jauh – dekat dan tinggi – rendahnya suatu tempat, sehingga pada saat itu dikenallah beberapa pembagian wilayah kerajaan yakni:
1. Negara Agung
2. Kuta Negara
3. Manca Negara
4. Daerah Brang/ Sabrang Wetan
5. Daerah Brang/ Sabrang Kulon.
Masa Pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah masa keemasan Mataram. Ia memerintah dengan bijaksana, adil dan penuh wibawa, sehingga rakyat pada masa itu merasakan ketentraman dan kemakmuran. Menurut catatan perjalanan Rijklof Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma) disebutkan bahwa:
Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang – orang jahat pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang di Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan (padi) di Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno.
Panjer termasuk dalam katagori daerah Mancanegara Bang/ Brang/ Sabrang Kulon. Jauh sebelum nama Kebumen itu ada, tepatnya di daerah Karang Lo/ wilayah Panjer Gunung (kini masuk dalam wilayah kecamatan Karanggayam), sudah terdapat penguasa kademangan di bawah Mataram (masa pemerintahan Panembahan Senopati sekitar tahun 1587 M). Di daerah tersebut, cucu Panembahan Senopati yang bernama Ki Maduseno (putra dari Kanjeng Ratu Pembayun (salah satu putri Panembahan Senopati) dengan Ki Ageng Mangir VI) dibesarkan. Ki Maduseno menikah dengan Dewi Majati dan kemudian berputra Ki Bagus Badranala (Bodronolo; makam di desa Karangkembang; dahulu masuk dalam wilayah Panjer Gunung). Ki Badranala adalah murid Sunan Geseng dari Gunung Geyong (Sadang Kebumen). Ia mempunyai peran yang besar dalam membantu perjuangan Mataram melawan Batavia pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ki Badranala yang mempunyai jiwa nasionalis tinggi, membantu Sultan Agung dengan menyediakan lokasi untuk lumbung dan persediaan pangan dengan cara membelinya dari rakyat desa. Pada tahun 1627 M prajurit Mataram di bawah pimpinan Ki Suwarno mencari daerah lumbung padi untuk kepentingan logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi milik Ki Badranala dan selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer di bawah kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati Panjer, diangkatlah Ki Suwarno, dimana tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi prajurit Mataram. Karier militer Ki Badranala sendiri dimulai dengan menjadi prajurit pengawal pangan dan selanjutnya Ia diangkat menjadi Senopati dalam penyerangan ke Batavia.

Dibakarnya Lumbung Padi Panjer
 
Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung Hanyakrakusuma disebabkan oleh dibakarnya lumbung – lumbung padi Mataram oleh Belanda, dimana lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada di Panjer (lokasi tersebut berada di dalam kompleks daerah yang kini menjadi Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati yang mempunyai luas sekitar 4 Ha). Peristiwa ini terjadi pada penyerangan Mataram yang ke tiga dan sekaligus menjadi peperangan terakhir Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau wafat pada awal tahun 1645 M dan dimakamkan di Imogiri. Selanjutnya, pada masa Sultan Amangkurat I, Panjer berubah menjadi sebuah desa yang tidak sesibuk ketika masih dijadikan pusat lumbung padi Mataram pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma.
 
Pembagian Wilayah Panjer
 
Panjer masa lalu dibagi dalam dua wilayah yaitu Panjer Roma (Panjer Lembah) dan Panjer Gunung. Ki Badranala diangkat menjadi Ki Gedhe Panjer Roma I atas jasanya menangkal serangan Belanda yang mendarat di pantai Petanahan. Putra tertua Ki Badranala yang bernama Ki Kertasuta bertugas sebagai Demang di wilayah Panjer Gunung, sedangkan adiknya yang bernama Ki Hastrasuta membantu ayahnya (Ki Badranala) di Panjer Roma. Ki Kertasuta kemudian diangkat menjadi Patih Bupati Panjer, Ki Suwarno. Ia dinikahkan dengan adik ipar Ki Suwarno dan berputra Ki Kertadipa. Ki Badranala menyerahkan jabatan Ki Gedhe Panjer Roma kepada anaknya (Ki Hastrasuta) yang kemudian bergelar Ki Gedhe Panjer Roma II. Beliaulah yang kemudian berjasa memberikan tanah kepada Pangeran Bumidirja / Ki Bumi ( paman Amangkurat I yang mengungsi ke Panjer sebab tidak sepaham dengan Sultan Amangkurat I ). Tanah tersebut terletak di sebelah Timur Sungai Luk Ula dengan panjang kurang lebih 3 Pal ke arah Selatan dan lebar setengah ( ½ ) Pal ke arah Timur. Pangeran Bumidirja kemudian membuka tanah ( trukah ) yang masih berupa hutan tersebut dan menjadikannya desa. Desa inilah yang kemudian bernama Trukahan (berasal dari kata dasar Trukah yang berarti memulai). Seiring berjalannya waktu nama desa Trukahan kini hanya menjadi nama padukuhan saja (sekarang masuk dalam wilayah kelurahan Kebumen). Riwayat desa Trukahan yang kemudian berubah menjadi Kelurahan Kebumen pun kini nyaris hilang, meskipun Balai Desa / Kelurahan Kebumen hingga kini berada di daerah tersebut.
Kutipan dari “Babad Kebumen” menyebutkan:
Kanjeng Pangeran Bumidirdja murinani sanget sedanipun Pangeran Pekik, sirna kasabaranipun nggalih, punapadene mboten kekilapan bilih Negari Mataram badhe kadhatengan bebendu. Puntonipun nggalih, Kanjeng Pangeran Bumidirdja sumedya lolos saking praja sarta nglugas raga nilar kaluhuran, kawibawan tuwin kamulyan.
Tindakipun Sang Pangeran sekaliyan garwa, kaderekaken abdi tetiga ingkang kinasih. Gancaring cariyos tindakipun wau sampun dumugi tanah Panjer ing sacelaking lepen Luk Ula. Ing ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun tumumpang nanging taksih wujud wana tarabatan.
Wana tarabatan sacelaking lepen Luk Ula wau lajeng kabukak kadadosaken pasabinan lan pategilan sarta pakawisan ingkang badhe dipun degi padaleman…..
Kanjeng Pangeran Bumidirdja lajeng dhedhepok wonten ing ngriku sarta karsa mbucal asma lan sesebutanipun, lajeng gantos nama Kyai Bumi…..
Sarehning ingkang cikal bakal ing ngriku nama Kyai Bumi, mila ing ngriku lajeng kanamakaken dhusun Kabumen, lami – lami mingsed mungel Kebumen.
Dhusun Kebumen tutrukanipun Kyai Bumi wau ujuripun mangidul urut sapinggiring lepen Luk Ula udakawis sampun wonten 3 pal, dene alangipun mangetan udakawis wonten ½ pal.
Dalam Babad Kebumen memang tidak terdapat cerita mengenai desa Trukahan, akan tetapi jika dilihat dari segi Logika Historis yang dimaksud dengan Desa / Dhusun Kabumian adalah Trukahan. Hal ini dapat ditelusuri berdasarkan Logika Historis antara lain :
  1. Wilayah dan nama Trukahan sejak pra kemerdekaan hingga kini masih tetap ada, dimana Balai Desa / Kelurahan Kebumen dan Kecamatan Kebumen berada dalam wilayah tersebut ( sedangkan Pendopo Kabupaten masuk dalam wilayah Kutosari ).
  2. Makam / Petilasan Ki Singa Patra yang sebetulnya merupakan Pamokshan, sebagai situs yang hingga kini masih terawat dan diziarahi baik oleh warga setempat maupun dari luar Kebumen ( meskipun belum diperhatikan oleh Pemerintah baik Kelurahan maupun Kabupaten ) adalah makam tertua yang ada di kompleks pemakaman Desa Kebumen. Singa Patra adalah sosok tokoh yang nyaris hilang riwayatnya, meskipun namanya jauh lebih dikenal oleh warga Kelurahan Kebumen sejak jaman dahulu kala dan diyakini sebagai tokoh yang menjadi cikal bakal Desa Trukahan masa lampau ( bukan Ki Bumi ). Tokoh ini hidup lebih awal dibandingkan masa kedatangan Badranala, sebab Beliau ( Badranala ) yang hidup pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah pendatang di desa Panjer ( Lembah / Roma ). Beliau sendiri berasal dari daerah Karang Lo ( yang dahulu masuk dalam wilayah Panjer Gunung ). Sebagai seorang pendatang yang kemudian berdiam di Panjer Roma, Badranala memperistri Endang Patra Sari. Endang adalah sebutan kehormatan bagi perempuan Bangsawan. Hal ini bisa kita lihat pada situs pemakaman Ki Badranala di desa Karangkembang dimana terdapat beberapa makam yang menggunakan Klan / Marga Patra, dimulai dari Istri Badranala sendiri, hingga beberapa keturunannya.
  3. Hilangnya babad Trukahan dan riwayat Ki Singa Patra dimungkinkan adanya kepentingan politik penguasa waktu itu. Terlebih riwayat Babad Kebumen baru diterbitkan pada tahun 1953 di Praja Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat oleh R. Soemodidjojo ( seorang keturunan KP. Harya Cakraningrat / Kanjeng Raden Harya Hadipati Danureja ingkang kaping VI, Pepatih Dalem ing Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ), yang notabene bukan warga asli bahkan mungkin tidak pernah sama sekali tinggal di Panjer ataupun Trukahan / Kebumen. Dengan kata lain, warga Kelurahan Kebumen baru mengenal sosok Bumidirdja semenjak diterbitkannya riwayat Babad Kebumen yang kini lebih populer dengan adanya media Internet.
  4. Kurun waktu Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma jelas lebih tua daripada Bumidirja. Sedangkan Ki Badranala yang kemudian bermukim di Panjer saat itu telah memperistri perempuan dari Klan Patra ( yang mengilhami nama sebuah Hotel di Kota Kebumen ).
  5. Menurut “ Sejarah Kebumen dalam Kerangka Sejarah Nasional “ yang ditulis oleh Dadiyono Yudoprayitno ( Mantan Bupati Kebumen ) disebutkan bahwa Pangeran Bumidirdja membuka tanah hasil pemberian Ki Gedhe Panjer Roma II / Ki Hastrosuto ( anak Ki Badranala ). Riwayat ini pun tidak disebutkan dalam Babad Kebumen. Riwayat yang lebih terkenal sampai saat ini adalah riwayat yang ditulis oleh R. Soemodidjojo yang notabene bukan warga asli dan bahkan mungkin belum pernah tinggal di Kebumen, dimana diceritakan bahwa Kebumen berasal dari kata Ki Bumi yang merupakan nama samaran dari Pangeran Bumidirja yang kemudian trukah di tepi sungai Luk Ula, sehingga kemudian tempat tersebut dinamakan Kebumian.
  6. Pasar Kebumen, pada awalnya berada di wilayah Trukahan, tepatnya di daerah yang kini menjadi kantor Kecamatan Kebumen hingga kemudian pindah ke daerah yang kini menjadi pasar Tumenggungan. Maka daerah di sekitar bekas pasar lama tersebut sampai sekarang masih bernama Pasar Pari dan Pasar Rabuk, karena memang lokasi pasar lama telah menggunakan sistem pengelompokan.
  7. Adanya pendatang setelah dibukanya tanah / trukah seperti yang disebutkan dalam Babad Kebumen yang kemudian bermukim, juga bisa diperkirakan mendiami daerah yang kini bernama Dukuh. Hal ini dimungkinkan dengan sebutan nama Dukuh yang telah ada sejak lama.

Asal Mula Nama Tumenggung Kalapaking
 
Datangnya Pangeran Bumidirdja di Panjer, menimbulkan kekhawatiran Ki Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara Panjer Gunung karena Pangeran Bumidirdja saat itu dinyatakan sebagai buronan Kerajaan. Akhirnya Ki Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara memutuskan untuk meninggalkan Panjer dan tinggallah Ki Kertawangsa yang dipaksa untuk tetap tinggal dan taat pada Mataram. Ia diserahi dua kekuasaan Panjer dan kemudian bergelar Ki Gedhe panjer Roma III. Dua Kekuasaan Panjer (Panjer Roma dan Panjer Gunung) membuktikan bahwa Panjer saat itu sebagai sebuah wilayah berskala luas sehingga dikategorikan dalam daerah Mancanegara Brang Kulon.
Pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya berhasil menduduki istana Mataram di Plered yang ketika itu diperintah oleh Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I). Sebelum Plered dikuasai oleh Trunajaya, Sultan Amangkurat Agung dan putranya yang bernama Raden Mas Rahmat berhasil melarikan diri ke arah Barat. Dalam pelarian tersebut, Sultan Amangkurat Agung jatuh sakit. Beliau kemudian singgah di Panjer (tepatnya pada tanggal 2 Juni 1677) yang pada waktu itu diperintah oleh Ki Gedhe Panjer III. Sultan Amangkurat I diobati oleh Ki Gedhe Panjer III dengan air Kelapa Tua (Aking) karena pada waktu itu sangat sulit mencari kelapa muda. Setelah diobati oleh Ki Gedhe Panjer III, kesehatan Sultan Amangkurat I berangsur membaik. Beliau kemudian menganugerahi gelar kepada Ki Gedhe Panjer III dengan pangkat Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I, sebagai jabatan Adipati Panjer I (1677 – 1710). Tumenggung Kalapaking I digantikan oleh putranya dan bergelar Tumenggung Kalapaking II (1710 – 1751), dilanjutkan oleh Tumenggung Kalapaking III (1751 – 1790) dan Tumenggung kalapaking IV (1790 – 1833 )). Setelah merasa pulih, Sultan Amangkurat Agung melanjutkan perjalannya menuju ke Barat, akan tetapi sakitnya ternyata kambuh kembali dan akhirnya Beliau wafat di desa Wanayasa (Kabupaten Banyumas) tepatnya pada tanggal 13 Juli 1677. Menurut Babad Tanah Jawi, kematian Sultan Amangurat Agung dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Raden Mas Rahmat (putranya sendiri yang menyertai Beliau dalam pelarian). Sesuai dengan wasiatnya, Beliau kemudian dimakamkan di daerah Tegal Arum (Tegal) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Tegal Wangi. Sementara itu tampuk kepemimpinan Panjer periode Kolopaking hanya berlangsung hingga Kalapaking IV dikarenakan adanya suksesi di Panjer pada waktu itu antara Kalapaking IV dan Arungbinang IV yang berakhir dengan pembagian wilayah dimana Trah Kalapaking mendapat bagian di Karanganyar dan Banyumas, sedangkan Arungbinang tetap di Panjer. Suksesi inilah yang mengakibatkan kematian Kalapaking IV setelah peristiwa penyerbuan Kotaraja Panjer oleh Belanda yang bekerjasama dengan Arungbinang IV karena Kalapaking IV mendukung Pangeran Diponegoro yang sebelumnya sempat menyusun kekuatan pasukan di daerah tersebut. Sejak pemerintahan Arungbinang IV inilah Panjer Roma dan Panjer Gunung digabung menjadi satu dengan nama Kebumen. Untuk memantapkan kedudukan setelah kemenangannya atas peristiwa pembagian wilayah, Arungbinang IV mendirikan Pendopo Kabupaten baru yang kini menjadi Pendopo dan Rumah Dinas Bupati Kebumen lengkap dengan alun -alunnya. Adapun Pendopo Kabupaten lama / Kabupaten Panjer kemungkinan berada di lokasi Pabrik Minyak Sari Nabati Panjer, dengan memperhatikan tata kota yang masih ada ( seperti yang penulis paparkan dalam sub judul Metamorfosis Panjer ) dan luas wilayah Pabrik yang mencapai sekitar 4 Ha, serta adanya pohon – pohon Beringin tua yang dalam sistem Macapat digunakan sebagai simbol suatu pusat pemerintahan kota zaman kerajaan. Begitu juga dengan Tugu Lawet yang pada awalnya merupakan tempat berdirinya sebuah Pohon Beringin Kurung (yang kemudian ditebang dan dijadikan Tugu Lawet ), dimana di sebelah Utaranya adalah Kamar Bola (gedung olahraga, pertunjukan dan dansa bagi orang Belanda) serta lokasi pasar Kebumen lama yang pada awalnya berada di wilayah Trukahan ( pusat pasar rabuk berada di sebelah Timur Balai Desa Kebumen, pasar lama berada di sebelah Utara klenteng, sub pasar rabuk berada di sebelah Utara pasar lama, pasar pari / padi berada di sebelah Selatan klenteng dan pasar burung yang tadinya merupakan Gedung Bioskup Belanda sebelum dihancurkan dan kemudian didirikan gedung Bioskup Star lama di sebelah Timur Tugu Lawet ( sumber : wawancara tokoh sepuh desa Kebumen )), semakin menguatkan bahwa pusat pemerintahan Kabupaten Panjer / Kebumen tempo dulu adalah di desa Panjer dan Trukahan. Hal ini sesuai juga dengan kurun waktu berdirinya Masjid Agung Kauman Kebumen yang didirikan oleh KH. Imanadi pada masa pemerintahan Arungbinang IV (setelah masa Diponegoro) yang membuktikan bahwa berdirinya Pendopo Kabupaten Kebumen dan Masjid Agung Kauman di wilayah Kutosari merupakan pindahan dari pusat kota lama di Panjer.

D. Panjer sebagai Tempat Persembunyian, Bersemadhi dan Penyusunan Strategi Perang Pangeran Diponegoro
 
Pecahnya perang Diponegoro pada tanggal 20 juli 1825 meluas sampai ke wilayah Kedu, Bagelen, Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Pada tanggal 21 Juli 1826 datanglah utusan Pangeran Diponegoro ke Kotaraja Kabupaten Panjer ( lokasi Kotaraja tersebut kini berada di kompleks eks pabrik minyak kelapa Sari Nabati Panjer, sedangkan lokasi Kodim 0709 Kebumen dahulunya dinamakan Kebun Raja atau Taman Raja karena disitulah taman/kebun Kabupaten Panjer berada). Utusan Pangeran Diponogoro tersebut bernama Senopati Sura Mataram dan Ki Kertodrono (Adipati Sigaluh Karanggayam). Kedatangan mereka di Panjer Roma disambut oleh Tumenggung Kalapaking IV, Senopati Somawijaya dan Banaspati Brata Jayamenggala (nama asli Mbah Jamenggala yang akhirnya dihukum gantung oleh Belanda di tengah alun – alun Kebumen karena mendukung Pangeran Diponegoro). Bersamaan dengan utusan tersebut, datang pula tamu dari Kradenan yaitu Ki Cakranegara. Mereka kemudian mengadakan perundingan dengan keputusan untuk membantu Perjuangan Pangeran Diponegoro yang sedang melawan Belanda. Adipati Panjer Roma ( Tumenggung Kalapaking IV ) bertugas menyediakan logistik pangan, dan persenjataan untuk para prajurit Panjer Roma yang dipimpin oleh Senopati Gamawijaya.
Pada tanggal 19 November 1826 terjadi perang besar di Purworejo antara Belanda melawan Pangeran Diponegoro yang pada saat itu dibantu oleh prajurit Banyumas. Dalam perang tersebut Pangeran Diponegoro jatuh sakit sehingga pasukan Banyumas mundur dan bersembunyi di benteng Sokawarna. Pangeran Diponegoro sendiri bersembunyi di sebuah gua selama beberapa hari hingga pulih. Setelah sembuh dari sakitnya, Pangeran Diponegoro segera berangkat ke Kotaraja Panjer untuk menyusun strategi dan kekuatan bersama Tumenggung Kalapaking IV. di sana pulalah Beliau selama 3 hari bersemadhi di kompleks makam kuno dan Pamokshan Maha Patih Gajah Mada yang dari dahulu telah menjadi salah satu tempat semadi para tokoh – tokoh Mataram ( Lokasi tempat pertemuan dan peristirahatan sementara Pangeran Diponegoro itu kini menjadi taman kanak – kanak PMK Sari Nabati. Di tempat itu pula lah kuda tunggangan Beliau beristirahat sementara Pangeran Diponegoro bersemadhi di Pamokshan Maha Patih Gajah Mada yang kini terbengkalai, bahkan dijadikan gudang kursi – kursi rongsokan oleh pengelolanya).
Keberadaan Pangeran Diponegoro di Kotaraja Panjer ternyata tercium juga oleh Belanda. Beliau berhasil meloloskan diri dari Kotaraja Panjer sebelum daerah tersebut diserbu oleh Belanda yang bekerjasama dengan Adipati Arungbinang IV. Penyerbuan terhadap Kotaraja Panjer itu sendiri dilakukan secara besar – besaran dari tiga jurusan ( dari arah timur, selatan, dan barat )yang mengakibatkan tewasnya Tumenggung Kalapaking IV akibat terluka cukup parah dalam pertempuran tersebut.
Metamorfosis Historis Panjer
Seiring berjalannya waktu dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Panjer juga tidak luput dari kekuasaan Belanda. Panjer tetap dijadikan basis pemerintahan oleh Pemerintah Belanda karena lokasinya yang sangat strategis ( meskipun sejarah masa lalu itu telah hilang ). Hal ini dapat kita lihat dari sisi genetik historisnya dimana Panjer sampai saat ini adalah suatu desa / kelurahan yang lengkap dengan fasilitas – fasilitas yang dibangun oleh Belanda jauh sebelum kemerdekaan, seperti: Stasiun Kereta Api, Rumah Sakit ( dahulu dikenal dengan nama Sendeng; berasal dari kata Zending yang berarti politik penyebaran agama Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara pertolongan kesehatan ), Gedung Pertunjukan, Pertahanan Militer, Perumahan Belanda yang lebih dikenal dengan nama KONGSEN ( berasal dari kata Kongsi ), Taman Kanak – Kanak yang dahulunya merupakan tempat pendidikan dan bermain bagi anak – anak para Pejabat Belanda yang tinggal di wilayah tersebut, serta Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati ( yang hingga kini menjadi milik Perusda Propinsi Jateng yang tutup sekitar tahun 1985 ). Pergantian kekuasaan sejak zaman Mataram Islam, Kolonial 
Belanda, hingga Pemerintahan NKRI ternyata tidak mempengaruhi perubahan desa Panjer dari segi Substansi dan Genetik Historis. Hal ini dapat kita lihat dengan sebuah pembanding sebagai berikut :
 Panjer Zaman Kediri
Pada saat itu Panjer telah dikenal sebagai sebuah Kadipaten yang besar dan ramai.
Panjer Zaman Majapahit
Maha Patih Gajah Mada yang konsisten dengan Sumpah Palapanya memilih mokhsa di tempat ini, jauh dari pusat kerajaan Majapahit di Trowulan.
Panjer Zaman Pajang
Ki Gedhe Karang lo yang menjamu Ki Ageng Pemanahan dan Rombongannya sebelum mendirikan Desa Mataram yang kemudian menjadi Kerajaan Mataram Islam membuktikan bahwa Panjer telah menjadi suatu daerah yang memiliki kedaulatan konvensional dalam rahan pemerintahan saat itu.
Panjer Zaman Sultan Agung
  1. Sebagai Lumbung padi, Pusat Logistik serta basis militer Pasukan Mataram
  2. Sebagai Kotaraja Kabupaten Panjer (yang tentunya telah memiliki kelengkapan fasilitas seperti kesehatan, transportasi, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain – lain meskipun masih bersifat sederhana)
  3. Sebagai Basis Militer Mataram
Panjer Zaman Kolonial Balanda (kemudian diteruskan oleh Jepang)
  1. Sebagai Pusat logistik yakni dengan didirikannya Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati ( seluas 4 Ha ).
  2. Sebagai desa yang memiliki berbagai fasilitas seperti Transportasi ( dengan didirikannya stasiun ), Perumahan Belanda ( lebih dikenal dengan sebutan Kongsen lengkap dengan sarana dan prasarananya baik sarana pendidikan anak – anak, Kesehatan ( Zending / Sendeng ) gedung Pertunjukan ( Gedung Bioskup Gembira ), gedung olahraga dan aula yang terdapat di dalam lokasi pabrik, dan lain – lain.
  3. Basis Militer Belanda
Panjer Zaman Kemerdekaan
  1. Sebagai Pusat Logistik ; dengan didirikannya Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati oleh Belanda yang setelah tutup sekitar tahun 1985 kemudian beralih fungsi sebagai gudang penampungan tebu sementara sebelum diolah menjadi gula pasir di Pabrik Gula Yogyakarta; disewakan kepada pabrik rokok untuk menampung cengkeh ( sekitar tahun 1989 ), disewakan sebagai gudang penyimpanan bijih Plastik ( sekitar tahun 1990 ), disewakan sebagai gudang beras Bulog, disewakan sebagai lahan perkebunan semangka; disewakan sebagai kantor Pajak; disewakan sebagai tempat penyimpanan sementara alat – alat berat kesehatan RSU; Sebagai tempat penampungan sementara Kompor dan tabung gas dalam rangka program konversi gas pada tahun 2009.
  2. Terdapatnya pusat transportasi Kereta Api (stasiun Kereta Api Kebumen)
  3. Bertempatnya Markas TNI / Kodim Kebumen
  4. Terdapatnya tempat pertunjukan Film (gedung Bioskop Gembira, yang kini telah dibangun dan dialihkan fungsi)
  5. sebagai tempat RSUD Kebumen
  6. Terdapatnya tempat pendidikan Taman Kanak – Kanak PMK Sari Nabati
  7. Terdapatnya Lapangan Tenis dan Bulutangkis, serta menjadi tempat latihan Beladiri berbagai Perguruan yang ada di wilayah Kebumen (sekitar tahun 1990 an)
  8. terdapatnya Perumahan Nabatiasa
  9. Pernah didirikan pula sekolah SLTP/ MTS Sultan Agung
  10. Berdiri pula PGSD sebagai cabang dari Universitas Sebelas Maret
  11. dan lain – lain.
Dilihat dari fakta – fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Panjer dari masa ke masa tidak memiliki perubahan fungsi, hanya saja terus menyesuaikan dengan perkembangan peradaban dan budaya.
Perbaikan Situs Pamokshan dan Pertabatan


Setelah terkubur sejarahnya selama beberapa abad, akhirnya Situs Pamokshan Gajah Mada dan Pertabatan Panjer dihidupkan kembali dan dirawat oleh para pemuda dan tokoh masyarakat setempat. Bukti – bukti tertulis dari kitab – kitab dan babad – babad serta literatur yang ada pun telah dikumpulkan, disamping petunjuk yang diperoleh dari sasmita para leluhur yang menemui saat bertirakat sebelum kegiatan perbaikan situs tersebut dimulai. Pembersihan dan perbaikan situs dimulai pada hari selasa Kliwon tanggal 12 April 2011. Sejak saat itulah situs berharga di Panjer yang telah telah dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah oleh masyarakat setempat akibat ketidaktahuan mereka itu kembali muncul. Situs yang dahulu kala menjadi salah satu Pancernya Panjer kembali muncul dari pengkebumiannya.
Bangsa Yang Besar adalah bangsa yang mengenal kepribadiannya serta selalu mengingat dan menghargai jasa para pendahulunya, dengan mengenal dan menjaga sebaik mungkin sejarahnya, serta melestarikan budaya warisannya. Bangsa Yang Besar selalu menyimpan Rahasia Kejayaannya dalam Pekuburan Tulang Naga ( kebudayaan adalah kuburan “Rahasia Kejayaan” para leluhur ). Meski kebenaran yang hakiki tidak akan pernah bisa dipastikan, menjaga sejarah, kesenian dan budaya adalah wujud dari cinta tanah air dan bangsa. Semoga desa Panjer yang penuh sejarah tersebut segera mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan pihak – pihak yang terkait lainnya, dalam rangka menghidupkan kembali Kearifan Budaya Lokal. Situs Kerajaan Panjer Kuno yang senasib dengan situs kerajaan Kediri milik Prabu Jayabaya tersebut (kedua situs kerajaan tersebut dihapus jejaknya oleh VOC dengan diubah menjadi Pabrik : Pabrik Gula Mamenang untuk Situs Kediri dan Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati untuk Situs Panjer) sangat memungkinkan untuk dikembangkan dengan menjadikan puing – puing Pabrik Sari Nabati menjadi tempat wisata sejarah dan spiritual layaknya Benteng Vander Wijk Gombong yang pastinya akan menambah aset pariwisata dan pemasukan bagi Kabupaten Kebumen. Panjer yang menyimpan sejarah kebesaran masa lalu mungkin bisa dikebumikan dan dikuburkan riwayatnya akan tetapi Panjer sebagai tempat para leluhur bersemayam akan tetap abadi dayanya mendukung Jejer/ Lenggahnya Pancasila. Panjer yang mengandung makna Pancasila Jejer akan selalu ikut mendayai bangsa demi kembalinya wahyu Pancasila yang akan mendamaikan dunia. Semoga keluhuran Pancasila segera lenggah dan semoga semua yang menghalang – halangi murube daya kaluhuran Pancasila segera binengkas oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui daya alam dan para leluhur bangsa.
Salam Pancasila!

ditulis oleh :
R. Ravie Ananda, S. Pd.
Jln. Garuda 13 Kebumen Jawa – Tengah Indonesia

Sumber :  http://kebumen2013.com/sejarah-cikal-bakal-kabupaten-kebumen/