Sabtu, 11 Februari 2012

Sejarah Kaleng, Pucang, Brangkal, Kabupaten Roma (Jatinegara), Kruwed, dan Kabupaten Karanganyar: Perspektif Kebangkitan Nasional 1825-1900


Kantor Pos Gombong tahun 1920
Kantor Pos Gombong tahun 1920 (kitv Belanda)

Embrio Kabupaten Roma
Kabupaten Roma merupakan hasil Blengketan (fusi) dari Kabupaten Pucang dan Kabupaten Kaleng (pesisir Selatan). Fusi ini merupakan keputusan Sultan Pajang pada tahun 1543. Kabupaten ini beribukota di Sidayu (Utara Gombong).
Sebelum difusikan, Bupati Pucang dijabat oleh Kyai Adipati Jannah yang sebelum menjabat bernama Kyai Bojogati (makam di Gunung Grenggeng; timur Panembahan Grenggeng). Sedangkan Bupati Kaleng dijabat oleh Kyai Adipati Banyakgumarang, keturunan Adipati Pasir (Purwokerto) yang bernama Raden Kamandaka/Lutung Kasarung, keturunan dari Raja Pajajaran.
Sebagai Bupati Roma pertama diangkatlah Kertiwicana I. Sedangkan putra dari Bupati Kaleng diberi jabatan Ngabei (setingkat Wedana) di Kaleng dengan gelar Kyai Ngabei Wirokerti. Kertiwicana I wafat (dimakamkan di Sampang) dan digantikan oleh putranya yang bergelar Kertiwicana II (makam di Sampang) yang setelah wafatnya digantikan oleh putranya yang bergelar Kertanegara I. Pada masa pemerintahan Kertanegara I inilah ibukota kabupaten Roma dipindah di Jatinegara.

Asal – Usul Nama Wagerglagah/Wagirglagah
Setelah Kabupaten Kaleng dan kabupaten Pucang difusikan oleh Sultan pajang, Kyai Banyakgumarang menekuni dunia kapanditan (mbegawan) dengan belajar dan memperdalam agama Islam kepada Panembahan Grenggeng. Setelah dirasa memiliki bekal yang cukup, Banyakgumarang bertapa di gunung Pletuk, desa Kedungwringin, utara Gombong. Bertahun – tahun ia bersila tanpa bergerak, sampai tempat bersila dan badannya ditumbuhi alang – alang dan rumput glagah. Utusan Kanjeng Panembahan Grenggeng yang diperintahkan untuk memanggil Banyakgumarang pun mengalami kesulitan saat menemukannya. Setelah membabati glagah dan ilalang, barulah Banyakgumarang ditemukan dalam kondisi hidup dan segar badannya. Sejak saat itulah Banyakgumarang disebut Kyai Wagerglagah. Setelah wafat, jenazahnya dimakamkan di bawah pertapaannya di desa kedungwaringin/Kedungwringin.

Kyai Muhammad Syafi’i Penasehat Diponegoro
Salah satu keturunan Kyai Wagerglagah adalah Kyai Muhammad Safi’i. Ia adalah putra darri Kyai Muhammad Jafar (makam di Brangkal) bin Kyai Nuryadin/Nur Muhammad (makam di Jungkemureb Alang – alang Amba Karanganyar) bin Kyai Jubari (makam di Kedungbulus, utara Gombong) bin Kyai Wirokerti Ngabehi Kaleng (makam di Kaleng) bin Kyai Wagerglagah.
Kyai Muhammad Syafi’i diambil menantu oleh Kyai Muhammad Ngisa Krandegan (Puring) (?). Ia kemudian menuntut ilmu di Dongkelan Yogyakarta mengikuti Kyai Syahabudin (kakeknya; ayah dari Ibunya).
Pada suatu ketika, Sultan Hamengku Buwana II (Sinuwun Banguntapa) memerintahkan Kyai Syahabudin untuk menulis Quran. Berhubung ia sudah tua, pekerjaan itu ia serahkan kepada Kyai Muhammad Syafi’i cucunya. Alhasil Sultan Hamengku Buwana II puas sekali dengan karyanya tersebut. Kyai Muhammad Syafi’i pun dipanggil menghadap dan ditanya berbagai macam hal. Selanjutnya, atas kepercayaan Sultan Hamengku Buwana II, Kyai Muhammad Syafi’i dinikahkan dengan salah satu cucu Sultan yang bernama BRA Maryam, (putri Sultan Hamengku Buwana III/ Sinuwun Raja), adik Pangeran Dipanegara. Dengan kata lain, Kyai Muhammad Syafi’i menjadi adik ipar Pangeran Dipanegara.
Kyai Muhammad Syafi’i  yang meminta izin untuk kembali tinggal di kabupaten Roma diberi tanah lungguh (bengkok) di desa Brangkal dan diberi jabatan Mufti oleh Sultan Hemengku Buwana II. Ia juga diberi wewenang menikahkan orang dari desa Brangkal, Setanakunci, Kedunglo, Pucang, Prapag, Klapagada, Pekuncen, Kedungbulus, Kedungwringin, Pejaten dan Pohkumbang.
Kyai Muhammad Safi’i mengajarkan agama Islam di Brangkal dan mendirikan Masjid pada 1813. Brangkal masuk dalam wilayah Kabupaten Roma yang pada saat itu telah beribukota di Jatinegara utara Gombong.

Transisi Kepemerintahan di Kabupaten Roma
Kyai Kertanegara I diangkat menjadi Patih Kartasura bergelar Kanjeng Raden Adipati Mangunpraja, sehingga jabatan Bupati Roma kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Raden Tumenggung Kertanegara II.
Setelah Adipati Mangunpraja wafat (dimakamkan di Pekuncen, utara Gombong), Tumenggung Kertanegara II ditarik ke Solo (pada saat itu kraton telah dipindahkan dari Kartasura ke Solo). Di sana Kertanegara II dijadikan Bupati Nayaka (makam di Laweyan Solo). Kedudukan Bupati Roma kemudian digantikan oleh adik Kertanegara II yang saat itu telah menjabat sebagai Bupati Anom di Ayah bergelar Raden Tumenggung Kertanegara III.
Setelah Kertanegara III wafat (makam di Pekuncen), Bupati Roma selanjutnya digantikan oleh cucu RT. Kertanegara II jalur laki – laki yang bernama Raden Panji Indrajit, kemudian bergelar Kertanegara IV.

Dukungan Kabupaten Roma terhadap Dipanegara
Pada saat terjadinya perang Dipanegara, Raden Tumenggung Kertanegara IV selaku bupati Roma saat itu bersama warganya mendukung Pangeran Dipanegara. Kertanegara IV kemudian diberi gelar Senopati Banyakwide oleh Pangeran Dipanegara.
Peristiwa Perang Dipanegara
Pada saat terjadinya perang Dipanegara, Kyai Muhammad Syafi’i Brangkal yang merupakan adik ipar Dipanegara juga ikut aktif membantu dalam peperangan bersama RM. Arya Mangunprawira (adik Pangeran Dipanegara) dan RM. Jayaprana (adik sepupu Pangeran Dipanegara; putra Pangeran Arya Murdaningrat). Kyai Muhammad Syafi’i menjadi penesehat Pangeran Dipanegara menggantikan Kyai Maja. Pangeran Dipanegara bersama pasukannya bermarkas di Brangkal ketika melakukan penyerangan terhadap Belanda di Wilayah Roma (sekarang masuk dukuh di desa Kalibeji Kec. Sempor).

Pertempuran Candi
Pada tanggal 18 April 1829 Tumenggung Banyakwide (Tumenggung Kartanegara IV) tertangkap oleh Mayor Buschkens di Kemit. Meskipun Bupati Roma IV ini tertangkap Belanda, perlawanan rakyat Roma terus berlangsung. Bahkan pasukan Belanda secara sekonyong-konyong diserang oleh pasukan rakyat di desa Candi. Penyerangan mendadak ini mengakibatkan jatuhnya korban dipihak Belanda, sehingga desa Candi pun kemudian dibumihanguskan Belanda sebagai wujud kemarahan mereka, sekaligus untuk memberi peringatan pada rakyat yang mendukung Dipanegara.
Pertemuan Pertama Pihak Belanda dengan Pangeran Dipanegara
Pada tanggal 16 Februari 1830, terjadilah petemuan yang pertama antara Pangeran Dipanegara dan wakil tentara Belanda yakni Kolonel Cleerens (mewakili Jenderal de Kock yang sedang berada di Batavia) di desa Roma Kamal, di sebelah utara Roma Jatinegara. Setelah pertemuan ini, diadakan pertemuan lanjutan di desa Kejawang dan kemudian di Magelang yang berakhir dengan penangkapan Pangeran Dipanegara.
Pasca Penangkapan Pangeran Dipanegara
Pasca penangkapan Pangeran Dipanegara, RM. Arya Mangunprawira dan RM. Arya Jayaprana juga tertangkap di desa Brangkal. Setelah dianggap tidak membahayakan lagi, RM. Arya Mangunprawira diangkat sebagai Pembantu Kolektur di Muntilan sedangkan RM Arya Jayaprana dijadikan pegawai pengadilan di Purworejo. Selanjutnya RM. Arya Mangunprawira diangkat menjadi Kolektur (setingkat Ka Dis Pemda) di Kebumen dan diawasi oleh Adipati Arungbinang IV Bupati kebumen, sedangkan RM. Arya Jayaprana diangkat menjadi Beskal (suatu jabatan di Pengadilan Belanda) di Purworejo.

Pemerintahan Kabupaten Roma Pasca Perang Dipanegara
Setelah perang Dipanegara berakhir, Bupati Roma dijabat oleh Raden Tumenggung Sindunegara, Bupati Nayaka dari kraton Yogyakarta. Bupati Roma ini diberi pangkat Mayor oleh Belanda dan bertempat tinggal di Gombong.
Warga Kabupaten Roma yang memihak Dipanegara dapat ditumpas Belanda dengan mengerahkan pasukan yang terbagi dalam empat kelompok besar yang dipusatkan di Kenteng Kemit, Petanahan, dan dua wilayah lainnya. Pasukan ini sengaja dikerahkan untuk membantu Tumenggung Mayor Sindunegara yang bekerjasama dengan Belanda. Benteng pertahanan Belanda saat itu bernama Fort General Cochius. Raden Tumenggung Kusumareja (Bupati Anom) didatangkan dari Yogyakarta untuk membantu Raden Tumenggung Mayor Sindunegara mengatur kembali desa – desa yang rusak akibat pertempuran serta mengatur masalah pajak.
Pada tahun 1838 warga kabupaten Roma dan Ambal berontak kembali melawan Kasultanan Yogyakarta yang pada saat itu pro kepada Belanda.  Pemberontakan dipimpin oleh para bekas pengikut Dipanegara. Pemberontakan tersebut mengakibatkan kedua bupati dari masing – masing kabupaten itu mengungsi.  Di kabupaten Roma, pemberontakan dipimpin oleh Kyai Kramaleksana dari Kuwaru (putra Pangeran Purwadiningrat yang ikut bergabung dengan Dipanegara). Pemberontakan itu berakhir dengan pejanjian bersyarat dari Kyai Kramaleksana dimana pemerintah Roma dikemudian hari tidak boleh memperlakukan anak cucu dan keturunannya dengan sewenang – wenang.
Setelah pemberontakan dapat diredakan, RM. Arya Mangunprawira diangkat menjadi wakil Bupati Ambal, sedangkan RM. Arya Jayaprana dijadikan wakil Bupati Roma dan bertempat tinggal di dusun Kruwed desa Jatinegara (sebelah barat pasar Gombong sekarang). Kedua Wakil Bupati tersebut kemudian diangkat menjadi Bupati di masing – masing kabupatennya. RM. Arya Mangunprawira memakai gelar Purbanegara sebagai Bupati Ambal dengan ibukota tetap di Ambal, sedangkan RM. Arya Jayaprana bergelar Jayadiningrat.
RM. Arya Jayaprana bersedia dijadikan Bupati Roma dengan syarat Belanda tidak boleh secara langsung memerintah rakyat, melainkan hanya sebagai penasehat. Semua perintah kepada rakyat harus atas persetujuan dan melalui RM Arya Jayaprana. Pangkat Bupati Jayaprana tidak di bawah Residen, melainkan sederajat. Syarat – syarat tersebut disetujui Belanda asal kabupaten Roma menjadi tenteram.
Jayaprana bergelar Adipati, payungnya berwarna kuning kemilauan (warna keseluruhan payung kuning, sama dengan payung Residen). Ia juga membuat ketentuan bahwa yang diperbolehkan naik kendaraan/kereta/andong sampai ke tratag rambat hanya Residen. Asisten Residen dan pejabat yang lebih rendah harus turun dari kendaraan di paseban di alun – alun dan untuk sampai di pendopo harus bejalan kaki. Jayaprana kemudian bergelar Kanjeng Raden Adipati Jayadiningrat.
Atas pertimbangan kurang strategis dan luasnya kompleks Kabupaten, maka pada tahun 1841 ibukota kabupaten Roma dipindahkan dari Gombong ke tempat yang baru dan kemudian dinamakan Karanganyar. Kabupaten Roma kemudian berubah menjadi Kabupaten Karanganyar.
Pada tahun 1868 Belanda telah berhasil menundukkan semua kabupaten di sekitar Karanganyar. Sikap Adipati Jayaningrat yang memegang teguh perjanjian Roma mengakibatkan orang – orang yang setia terhadap Adipati dipindah dan diganti dengan orang – orang yang setia kepada Belanda. Jayadiningrat dicari – cari kesalahannya. Orang – orang pedesaan dihasut dan dibujuk agar membenci Bupatinya. Taktik Belanda ini sampai berakibat adanya unjuk rasa yang diatur oleh para pejabat yang setia kepada Belanda.

Sumber Buku:
  1. M.D, Sagimun, Pahlawan Dipanegara Berjuang (Bara Api Kemerdekaan Nan Tak Kunjung Padam), 1956, Jogjakarta, Tjabang Bagian Bahasa, Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta MCMLVII.
  2. Soenarto, HR, Sejarah Brangkal, Kabupaten Roma (Jatinegara/Kruwed) dan Kabupaten Karanganyar.

Tim Penggalian dan Penulisan Sejarah :
  1. Kapten Suko Wardoyo                    Kanminvetcad Kabupaten Kebumen
  2. Bambang Priyambodo, S. Sos      PPM Macab Kebumen
  3. Ravie Ananda, S. Pd                      Pemerhati Sejarah
  4. Serka Marjuki                                   KODIM 0709 Kebumen
  5. Pelda Sudarsin                                KODIM 0709 Kebumen

Harkitnas 20 Mei 2012
Kabupaten Kebumen

Sumber :  http://kebumen2013.com/sejarah-kaleng-pucang-brangkal-kabupaten-roma-jatinegara-kruwed-dan-kabupaten-karanganyar-perspektif-kebangkitan-nasional-1825-1900/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar