Dalam setiap perkenalan atau ketika saya menyebut daerah asalku, orang akan selalu senyum ngeledek. Terlebih lagi ketika saya berbicara dengan bahasa daerah kelahiranku mereka kadang mentertawakanku, tidak masalah buatku, malah semakin ditertawakan semakin bangga terhadap bahasaku. Yah... saya memang sering menggunakan bahasa jawa ngapak apalagi kalau berjumpa dengan sesama jawa ngapak, semakin ditertawakan semakin ku kerasin intonasinya.
Karena sering ditertawakan dan dipandang rendah saya berfikir kenapa logat bahasaku di rendahkan dan selalu ditertawakan apa yang membuat mereka tertawa, toh setiap mereka bicara bahasanya standar banget, bagus banget juga engga, sombong sekali mereka... Saya coba mencari tau tapi jawabanya tidak masuk akal.
Ketika tak sengaja saya mampir ke sebuah toko buku di Purwokerto, saya menemukan buku tentang bahasa jawa ngapak. Dalam buku tersebut di jelaskan bahwa bahasa jawa ngapak itu bermula ketika kedatangan orang-orang Kalimantan tepatnya Kutai pada masa pra Hindu sekitar abad ke 3 sebelum Masehi yang mendarat di daerah Cirebon. Kemudian mereka menetap di sekitar Gunung Slamet dan Sungai Serayu, dan mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Galuh Purba, mungkin kerajaan tersebut merupakan kerajaan pertama di Pulau Jawa, mengingat Kutai adalah kerajaan pertama di Indonesia, yang menurut buku tersebut nantinya dari kerajaan Galuh Purba-lah akan lahir penguasa-penguasa di kerajaan Jawa selanjutnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh E.M Uhlenbeck, tahun 1964, bahasa yang digunakan oleh keturunan Galuh Purba masuk ke dalam rumpun basa jawa bagian kulon yang meliputi: Sub Dialek Banten Lor, Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas, Sub Dialek Bumiayu. Dialek inilah yang sering disebut bahasa jawa ngapak. yang sering ditertawakan orang... karena lucunya.
Bahasa Jawa menjadi berbagai tingkatan yaitu ngoko, kromo dan kromo inggil. tingakatan tersebut di pengaruhi oleh situasi politik pada masa kerajaan Mataram. Dalam sejarahnya bahasa Jawa ngapak merupakan turunan dari bahasa Jawa tengahan/kawi. Jawa ngapak juga adalah budaya tanggung atau marginal artinya dalam mengadopsi budaya Jawa dan sunda sama-sama dangkal. Makanya orang yang berlogat bahasa Jawa ngapak tidak lagi memperdulikan status sosial di masyarakat seperti ningrat atau priyayi. pengguna bahasa Jawa ngapak lebih suka bersikap kesetaraan atau netral. Etika ini dibangun atas dasar
etika
kemanusiaan yang dapat memunculkan kekuatan solidaritas yang
membedakan antara Jawa ngapak dan Jawa lainnya.
Karakter bahasa Jawa ngapak inilah yang membentuk orang menjadi diri sendiri tanpa harus terpengaruh dengan budaya lain. Karena itulah Orang yang mengunakan bahasa Jawa ngapak jarang sekali mengolok olok ataupun merendahkan bahasa Orang lain. Malah mungkin justru sebaliknya karena sikap feodalisme sebagai orang Jawa menganggap dialek bahasa Jawa ngapak sering dianggap bahasa yang lucu dan rendahan. Ada pandangan yang menganggap
sebagian besar orang yang menggunakan bahasa Jawa ngapak merasa rendah diri ketika
menggunakan bahasa Ngapak. Hal ini didasari dari, bagaimana bahasa yang digunakan saat berinteraksi dengan orang Jawa Wetan. Kalau tidak
menyesuaikan diri dengan membandhekan ke-ngapakanya dipastikan menggunakan bahasa Indonesia. Menurut
saya, ini bukanlah suatu hal yang negatif tetapi sebagai bentuk adaptasi.
Jangan malu berbahasa Jawa Ngapak, karena itu jati diri kita, malah seharusnya kita lestarikan dan kembangkan terus bila perlu dirikan pusat pengembangan bahasa Jawa Ngapak. Biar saja mereka menrendahkan dan mentertawakan kita...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar