Jalan Krama Leksana Nama jalan kecil di wilayah Panjer dan Selang Kebumen.
Meski telah diabadikan sebagai nama sebuah jalan di wilayah Panjer
dan Selang, sosok dan sejarah Kyai Kramaleksana masih asing dalam
pengetahuan generasi muda Kebumen khususnya. Kramaleksana dan Mbah
Banyumudal yang merupakan tokoh besar dari daerah setempat tertutup oleh
tokoh Ibrahim Asmoro Kondi yang secara logika historis sangat lemah
keberadaannya di wilayah tersebut terlebih sejarahnya baru dimunculkan
pada sekitar awal tahun 2000 an dalam rangka geliat politik lokal pada
masa itu. Hal ini tentunya sangat disayangkan terlebih ketika pemahaman
akan sejarah cikal bakal menjadi satu hal pokok penentu hidupnya
kearifan budaya lokal yang sangat mempengaruhi pembentukan karakter
generasi sebuah daerah.
Desa Selang berbatasan dengan desa Panjer di sebelah Barat. Di desa
yang kini telah menjadi kelurahan ini, jauh sebelum berdirinya kraton
Yogyakarta pada tahun 1755 telah memiliki tokoh penting yang ikut andil
dalam perjalanan sejarah Raja – raja Jawa khususnya Mataram Islam. Salah
satu diantaranya adalah Kramaleksana. Sosok Kramaleksana hidup pada
masa Sultan Amangkurat I hingga Hamengku Buwana I (1600 – 1700 an). Pada
masa perang Mangkubumi (1746 – 1775) Kramaleksana ikut membantu
Pangeran Mangkubumi yang pada masa itu memusatkan pertahannya di tanah
Panjer (termasuk di dalamnya adalah wilayah Sruni, Selang, Kalijirek,
Kutowinangun dsb) yang kemudian berubah menjadi Kabupaten Kebumen pasca
pembumihangusan Pendopo Agung kotaraja Panjer (kini area Pabrik Minyak
Nabatiasa/Sarinabati) pada tahun 1832. Menurut beberapa sumber data
berupa babad antara lain: Babad Sruni, Babad Giyanti (karya R. Ngabehi
yasadipura I /kakek R. Ngabehi Ranggawarsita), Babad Banyumas, maupun
silsilah Raja – Raja Jawa (Serat Sarasilah) dapat diketahui sebagai
berikut:
Sosok Kramaleksana muncul setelah bertahtanya Amangkurat II
menggantikan Amangkurat I. dikisahkan bahwa atas jasanya menghalau
Trunajaya beserta pasukannya yang mengejar Amangkurat I hingga di tanah
Panjer, maka Kertinegara Sruni (sebelum peristiwa pemberontakan
Trunajaya, Kertinegara telah melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat
I dan kemudian bertaubat) diangkat sebagai Wedana Bupati Brang Kulon
dengan gelar Tumenggung Kertinegara oleh Amangkurat II. Dalam acara
Tasyakuran atas pemberian anugerah tersebut, Kertinegara menikahkan
putrinya yang bernama Rara Inten (anak bungsu Kertinegara dengan istri
pertamanya)dengan Ki Kramaleksana anak Ki Kramayuda Sruni. Acara
berlangsung tiga hari tiga malam dan sangat meriah. Selang dua bulan
dari acara tersebut, Tumenggung Kertinegara bersama Ki Demang Sutawijaya
dan Ki Kramaleksana (menantunya) menghadap ke Kraton baru di Kartasura
dalam rangka menyerahkan upeti tanah Panjer. Selain itu Kertinegara juga
mengabdikan menantunya yakni Kramaleksana. Atas kemurahan Amangkurat II
Kramaleksana diterima dan diangkat menjadi Mantri Pamajegan di
Klegenkilang (kini berubah nama menjadi Selang) dengan gelar Ngabei
Kramaleksana. Setelah beberapa hari di Kartasura, mereka pun kembali ke
Sruni. Kemudian Kramaleksana segera berpindah kediaman di Klegenkilang
guna menjalankan tugasnya.
Menurut beberapa sumber, Kramaleksana mempunyai istri dua orang.
Isteri pertama adalah anak dari Tumenggung Kertinegara Sruni, sedangkan
isteri kedua adalah anak dari Raden Tumenggung Wiraguna kartasura. Dari
keduanya Kramaleksana memiliki lima belas (15) orang anak yaitu :
- Ngabehi Wiryakrama, mantri Gunung ing Tlagagapitan; (salah satu putrinya dijadikan isteri kelangenan dari Sultan Hamengku Buwana II dan bergelar Bandara Raden Ayu Nilaresmi, kemudian menurunkan Gusti Raden Ayu Pringgadirja).
- Mbok Mas Dipayuda.
- Ngabehi Kramadirja, Mantri Nangkil Ngayogyakarta. Setelah selesai bertugas, ia kemudian kembali ke Selang dan berganti nama menjadi Ki Kramasentika, akan tetapi oleh masyarakat setempat kemudian lebih dikenal sebagai Ki Kramareja.
- Mbak Mas Rara Ketul, kemudian menjadi isteri Kelangenan Hamengku Buwana I dan bergelar Bandara Raden Ayu Handayahasmara, kemudian menurunkan : Bandara Pangeran Harya Hadikusuma, Bandara Raden Ayu Juru, dan Bandara Pangeran Harya Balitar.
- Mbok Mas Kramayuda.
- Ki Secawijaya, setelah menjadi Mantri Nangkil ing Ngyogyakarta menggantikan saudara laki lakinya kemudian bergelar Ngabehi Kramadirja.
- Ki Kramadiwirya.
- Ngabehi Resadirja, menikah dengan cicit/buyut Mangkunegaran Sambernyawa Surakarta.
- Ngabehi Kramataruna.
- Ki Kramatirta.
- Ki Resadiwirya
- MBok Mas Wiryayuda (Setrareja).
- Mbok Mas Resapraja (Kramasentika).
- Ki Honggawijaya, setelah menjadi Mantri bergelar Ngabehi Kramayuda, isterinya dari Surakarta, dan menurunkan salah satunya Ngabehi Jayapranata yang di kemudian hari menjadi Patih Mangkunegaran. Anak perempuan Ngabehi Jayapranata dijadikan isteri kelangenan Pangeran Mangkunagara III dan bergelar Mas Ajeng Handayaresmi, menurunkan dua orang yakni Raden Mas Suryahandaka dan Raden Ajeng Kuning (menikah dengan Pangeran Harya Gandahatmaja anak dari Pangeran Adipati Mangkunagara IV Surakarta).
- Mbok Mas Jawidenta.
Anak – anak Kramaleksana tersebut di atas, mulai dari nomor 1 hingga 5
dilahirkan dari isteri pertamanya (Puteri Tumenggung Kertinegara
Sruni), sedangkan anak nomor 6 hingga 15 dilahirkan dari isteri kedua
(Puteri Tumenggung Wiraguna Kartasura).
Ada yang mengisahkan bahwa Kramaleksana memiliki tiga orang istri
dimana yang ke tiga berasal dari Yogyakarta. Namun pernyataan ini sangat
lemah sebab dari data yang ada yakni babad Sruni yang memuat silsilah
singkat disebutkan bahwa isteri Kramaleksana hanya dua orang dan dari
keduanya menurunkan 15 orang anak. Sedangkan pada silsilah induk milik
Kanjeng Raden Harya Adipati Danureja V Yogyakarta yang kemudian bergelar
Kanjeng Pangeran Juru, tidak disebutkan jumlah isteri dari
Kramaleksana. Hanya disebutkan jumlah anak sebanyak 12 orang sehingga
ada selisih kekurangan 3 orang jika dibanding dengan silsilah yang ada
di babad Sruni. Adapun kekurangannya adalah :
- Mbok Mas Dipayuda (anak nomor 2).
- Mbok Mas Resapraja/Kramasentika (anak nomor 13).
- Mbok Mas Jawidenta, (anak nomor 15).
Dari data di atas maka dapat diketahui bahwa keturunan Kramaleksana
yang kemudian menurunkan darah Kraton Yogyakarta ada dua orang dan darah
Mangkunegaran satu orang yakni:
- Anak ke 4 menjadi isteri kelangenan Hamengku Buwana I
- Cucu Kramaleksana (anak dari Wiryakrama) menjadi isteri kelangenan Hamengku Buwana II
- Cicit/Buyut Kramaleksana menjadi isteri kelangenan Kanjeng Gusti Pangeran Harya Mangkunagara III Surakarta.
Selain anaknya, ternyata saudara perempuan Kramaleksana juga menjadi
isteri kelangenan Hamengku Buwana I dan bergelar Bandara Raden Ayu
Turunsih, yang menurunkan 2 orang anak yakni :
- Bandara Pangeran Harya Mangkukusuma
- Bandara Raden Ayu Tumenggung Danunagara. Adapun Raden Tumenggung Danunagara adalah anak dari Kanjeng Raden Hadipati Danureja I Patih Yogyakarta (Danureja I sebelumnya menjabat sebagai Bupati Banyumas IX dengan gelar Adipati Yudanegara III).
Asal mula anak Kramaleksana diperisteri Hamengku Buwana I
Ketika Pangeran Mangkubumi (RM. Soedjono) berperang di tanah Panjer
ia melihat seorang anak perempuan yang menggunakan pinjung/kain berusia
sekitar 11 tahun. Anak tersebut sangat suka melihat prajurit yang tengah
berperang di sekitar rumahnya tanpa merasa takut. Pangeran Mangkubumi
memperhatikan semua gerak dan tingkah anak tersebut dengan keheranan dan
kagum. Ia kemudian mengutus seorang abdinya untuk bertanya kepada anak
tersebut. Setelah ditanya, anak tersebut pun menjawab bahwa ia bernama
Mas Rara Ketul, anak dari Ki Kramaleksana, seraya menunjukkan ayahnya
yang tengah berlari ke arah barat menggunakan ikat wulung dan menghunus
keris mengejar musuh. Abdi tersebut kemudian melaporkan kepada Pangeran
Mangkubumi apa yang dikatakan oleh Rara Ketul. Hal itu membuat senang
hati Pangeran Mangkubumi, terlebih setelah mengetahui bahwa ia anak dari
Ki Kramaleksana yang telah banyak berjasa selama pasukan Mangkubumi
berada di tanah Panjer. Pangeran Mangkubumi pun berpesan kepada Ki
Kramaleksana agar kelak ketika dewasa anak tersebut diserahkan kepadanya
untuk dijadikan isteri. Dengan rasa bangga dan senang hati Kramaleksana
menyanggupi. Setelah Pangeran Mangkubumi memenangkan peperangan dengan
perjanjian Giyanti dan menjadi Raja pertama Yogyakarta dengan gelar
Hamengku Buwana I, Rara Ketul yang telah beranjak dewasa pun diserahkan
kepada Sultan dan kemudian dijadikan Isteri dengan gelar Bandara Raden
Ayu Handayahasmara. Nama tersebut didasarkan pada kekaguman Sang Sultan
akan keberanian Rara Ketul, meskipun masih anak – anak berani mengikuti
ayahnya di medan peperangan. Pada umumnya, laki – laki sekalipun jika
ia bukan prajurit pasti akan takut dan meninggalkan rumahnya ketika
didekatnya menjadi medan peperangan.
Leluhur dari Kramaleksana dan Bandara Raden Ayu Turunsih.
Alur leluhur Kramaleksana diketahui berasal dari Kyai Aden. Ada
perbedaan pendapat mengenai sosok Kyai Aden. Dalam Babad Sruni, Kyai
Aden ditulis sebagai anak dari Jaka Lancing (Mbah Lancing). Sedangkan
menurut Sarasilah (silsilah Raja – raja Jawa) halaman 40 diketahui bahwa
Kyai Aden adalah guru dari Raden Jaka Lancing. Raden Jaka Lancing/Raden
Banyak Patra/Harya Surengbala/Panembahan Madiretna adalah anak ke 50
dari Brawijaya V (Raden Alit) yang lahir dari isteri selir dan sengaja
diserahkan kepada Kyai Aden Gesikan untuk dididik.
- Kyai Aden Gesikan, berputra;
- Kyai Sutamenggala (Sruni), berputra;
- Kyai Sutapraja (Sruni), berputra;
- Kyai Kramayuda (Sruni), berputra (diantaranya);
- Kyai Kramaleksana dan Bandara Raden Ayu Turunsih.
Leluhur dari Nyai Kramaleksana (isteri pertama)
Dari Babad Sruni diketahui bahwa Nyai Kramaleksana yang merupakan
anak dari Tumenggung Kertinegara Sruni memiliki alur Majapahit sebagai
berikut:
- Prabu Brawijaya terakhir menurunkan;
- Raden Jaka Pekik/Harya Jaranpanolih Sumenep (Saudara Jaka Lancing), berputra;
- Harya Leka (Sumenep), berputra;
- Jambaleka (Sumenep), berputra;
- Ki Mas Manca/Harya Mancanagara (Patih Pajang), berputra;
- Ki Mas Tumenggung Pramonca (Sruni), berputra;
- Raden Tumenggung Kertinegara I (Sruni), berputra;
- Kertileksana, Kertisentika, Rara Rinten (dari isteri pertama), dan Rara Ranti (dari isteri kedua). Rara Rinten kemudian dinikahkan dengan Kramaleksana dan menurunkan Bandara Raden Ayu Handayasmara.
Beberapa Versi Makam Kramaleksana
Ada tiga pendapat mengenai letak makam Kramaleksana yakni; 1. di
Banyumudal di jalan Kyai Kramaleksana (Perbatasan Selang dan Panjer;
kini makam tersebut diganti nama menjadi makam Ibrahim Asmoro Kondi), 2.
Di Pemakaman Sijago Selang, 3. Di Desa Kaliwarak (utara Masjid
Kaliwarak). Dari ketiga pendapat tersebut makam Banyumudal (terletak di
Jalan Kyai Kramaleksana) yang kini dinamakan Ibrahim Asmoro Kondi adalah
makam yang paling dikenal warga sebagai makam Kramaleksana.
Meski Kramaleksana semakin hilang dalam ingatan dan pengetahuan
masyarakat Selang dan Panjer yang kini lebih familier dengan tokoh
Ibrahim Asmoro Kondi, namanya tetap terpatri dan lestari menjadi sebuah
nama jalan kecil di wilayah Panjer dan Selang yang kini lebih dikenal
dengan nama “Kecepit” tepat di samping pintu rel kereta api.
Persaudaraan Mas Manca dengan Jaka Tingkir (Hadiwijaya)
Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan mengenai persaudaraan antara Mas
Manca yang kemudian menjadi Patih Pajang dengan Jaka Tingkir
(Hadiwijaya) sebagai Raja Pajang sebagai berikut:
Jaka Leka adalah seorang pertapa yang berdiam di dukuh Cal Pitu di
kaki gunung Lawu (mungkin ini yang disebut dengan Jambaleka di dalam
silsilah babad Sruni; perbedaannya jika di babad Sruni dikatakan dari
Sumenep, dalam Babad Tanah Jawa disebutkan dari kaki Gunung Lawu.
Dimungkinkan juga ia berasal dari Sumenep dan menjadi pertapa di kaki
gunung Lawu). Ia masih keturunan dari Majapahit. Anak laki – lakinya
yang bernama Mas Manca pergi dari padukuhannya dan berniat bertapa di
pesisir laut selatan. Dalam perjalanannya ia berhenti di daerah Banyu
Biru dan kemudian dijadikan anak oleh Ki Buyut Banyu Biru. Mas Manca
sangat disayang dan diberi kebebasan segala tingkah lakunya serta
diajari segala ilmu kesaktian. Ia juga diperintahkan untuk bertapa agar
memperoleh derajat. Ki Buyut tahu bahwa Mas Manca akan menjadi
pendamping raja. Ia berkata kepada Mas Manca bahwa Rajanya akan datang
jika ia telah tinggal di Banyu Biru selama 3 bulan. Kelak kerajaannya
berada di Pajang. Tepat 3 bulan keberadaan Mas Manca di Banyu Biru,
datanglah Jaka Tingkir yang sengaja mencari tempat tersebut mengikuti
wangsit dari suara gaib saat ia tidur di makam ayahnya di Pengging
selama empat hari. Di Banyu Biru Jaka Tingkir diangkat anak pula oleh Ki
Buyut Banyu Biru. Selain diajari segala ilmu yang dimiliki oleh Ki
Buyut, Jaka Tingkir juga diberi amanah agar di mana pun ia berada harus
selalu bersama – sama saudara seperguruannya tersebut yakni Mas Manca,
Ki Wuragil (adik Ki Buyut), dan Ki Wila (keponakan Ki Buyut). Sejak saat
itu mereka selalu bersama – sama dan ketika Jaka Tingkir menjadi Raja
Pajang, Mas Manca dijadikan Patihnya. Sementara Ki Wuragil dan Ki Wila
dijadikan Bupati.
Dari data tersebut dimungkinkan keberadaan Tumenggung Pramonca di
Sruni (ayah dari Tumenggung Kertinegara Sruni) sebagai anak dari Mas
Manca/Patih Pajang dikarenakan tugas kerajaan mengingat pada waktu itu
Kerajaan/Negara Panjer dengan gelar pimpinan Kuwu (Yang Mulia/yang
ditinggikan) telah berubah menjadi Kadipaten Panjer yang dipimpin oleh
seorang adipati dan secara resmi menjadi wilayah di bawah kerajaan Demak
yang dipimpin oleh Raden Patah.
Kebumen, Sabtu Wage 11 Oktober 2013
Oleh Ravie Ananda
Oleh Ravie Ananda
Sumber : http://kebumen2013.com/kyai-kramaleksana-dalam-sejarah-nama-sebuah-jalan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar