Foto Arungbinang bupati kebumen, dan Putri bungsunya
Panjer adalah nama sebuah Desa/ Kelurahan yang termasuk dalam wilayah
Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah. Nama Panjer
sendiri telah lama dikenal, jauh sebelum nama Kebumen itu ada, tepatnya
sejak masa Pra Islam. Satu hal yang sangat disayangkan adalah “ Nyaris
hilangnya
riwayat Panjer Kuno
baik dalam masyarakat di wilayah tersebut maupun dalam pengetahuan
masyarakat Kabupaten Kebumen pada umumnya ”. Kurangnya perhatian dan
pemeliharaan terhadap situs bangunan peninggalan bersejarah dan budaya
masa lampau yang terdapat di daerah itu tentunya sangat memprihatinkan,
mengingat Panjer adalah cikal bakal berdirinya Kabupaten Kebumen yang
telah dikenal sejak 1000 tahun yang lalu sebagai salah satu wilayah yang
diperhitungkan dalam ranah nasional. Beberapa Raja dan Tokoh Besar
Nusantara pun menggunakan tempat ini sebagai pengungsian, penyepian,
basis pertahanan militer bahkan Pamoksan mereka (Maha Patih Gajah Mada
Moksha di tempat ini). Sebagai desa yang kini berbentuk kelurahan,
Panjer tetap khas dengan rasa dan suasana masa lampaunya.
Panjer dari Masa ke Masa
A. Panjer zaman Kerajaan Kediri
Wilayah Panjer sebagai sebuah kadipaten/ Kerajaan telah dikenal dalam
ranah nasional pada masa kerajaaan Kediri. Dalam Kitab “Babad Kedhiri“,
disebutkan:
Babagan kadipaten Panjer dicritakake nalika Adipati
Panjer sepisanan mrentah ing Panjer, duwe kekareman adu pitik.
Sawijining dina nalika rame-ramene kalangan adu pitik ing pendhapa
kadipaten, ana salah sijine pasarta sing jenenge Gendam Asmarandana,
asale saka Desa Jalas. Gendam Asmarandana sing pancen bagus rupane kuwi
wusana ndadekake para wanita kayungyun, kalebu Nyai Adipati Panjer. Nyai
Adipati sing weruh baguse Gendam Asmarandana uga melu-melu kayungyun.
Kuwi ndadekake nesune Adipati Panjer. Nalika Adipati Panjer sing nesu
kuwi arep merjaya Gendam Asmarandana kanthi kerise, Gendam Asmarandana
kasil endha lan suwalike kasil nyabetake pedhange ngenani bangkekane
Adipati Panjer. Adipati Panjer sing kelaran banjur mlayu tumuju Sendhang
Kalasan sing duwe kasiyat bisa nambani kabeh lelara. Nanging durung
nganti tekan sendhang kasil disusul dening Gendam Asmarandana lan wusana
mati. Gendam Asmarandana sing weruh Adipati Panjer mati banjur mlayu
tumuju omahe nanging dioyak dening wong akeh. Gendam Asmarandana sing
keweden banjur njegur ing Sendhang Kalasan. Wong-wong sing padha melu
njegur ing sendhang, kepara ana sing nyilem barang, tetep ora kasil
nyekel Gendam Asmarandana. Wong-wong ngira yen Gendam Asmarandana wus
malih dadi danyang sing manggon ing sendhang kuwi. Sabanjure kanggo
ngeling-eling kedadeyan kuwi digawe pepethan saka watu sing ditengeri
kanthi aran Smaradana, mapan ing Desa Panjer.
B. Panjer sebagai Tempat Mokhsanya Maha Patih Gajah Mada.
Maha Patih Gajah Mada adalah salah satu tokoh termasyhur pada zaman
Kerajaan Majapahit yang telah berhasil menyatukan Nusantara dengan
Sumpah Palapanya. Dari berbagai literatur yang ada belum pernah didapati
mengenai riwayat lengkap mengenai kelahirannya, keluarga dan
kematiannya. Sosok Gajah Mada hingga kini menjadi suatu misteri bagi
sejarah Nusantara. Akhir – akhir ini banyak bermunculan klaim terhadap
lokasi kelahiran dari Maha Patih Gajah Mada, akan tetapi mengenai
Pamokshannya ( tempat bertapanya Beliau hingga hilang dengan raganya
seperti tradisi tokoh – tokoh besar Jawa jaman dahulu ) tidak pernah
diketahui. Satu – satunya situs Pamokshan Gajah Mada yang sejak dahulu
telah diketahui masyarakat pada zaman Mataram Islam adalah di Kabupaten
Panjer. Situs tersebut kemudian dihilangkan bersama kompleks makam kuno
yang ada di sana oleh Belanda dengan mengubahnya menjadi pabrik minyak
kelapa Sari Nabati. Hal ini senasib dengan situs kerajaan Kediri yang
kemudian diubah Belanda menjadi pabrik gula Mamenang Kediri. Pernah
muncul klaim mengenai pamokshan Gajah Mada di suatu gua di balik sebuah
air terjun di Jawa Timur. Klaim tersebut berdasar pada pemahaman
sekelompok orang terhadap Gajah Mada yang disamakan dengan Patih Udara
alias Patih Tunggul Maniq ( Patih Majapahit sebelum Gajah Mada ).
Tentunya dasar landasan tersebut sangat tidak tepat jika mengacu pada
literatur Dr. J. Brandes yang diturun dari kitab – kitab babad Jawa yang
berhasil ditemukan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Literatur
Dr. J. Brandes menyebutkan sebagai berikut :
Kyai Patih Udara als kluizenaar Tunggulmaniq op den berg
Mahameru; zijne 2 plichtkinderer : Ki Tanpa Una en Ni ( of Dewi ) Tanpa
Uni de door Siung Wanara in de Karawang rivier geworpen vorst en vorstin
van Pajajaran. Rijksbestuurdeerna Patih Udara vertrek : Patih Logender,
diens broer, gehuwd met eene dochter van den Adipati van Gending……
Brawijaya – Patih Wirun
Bra Kumara – Patih Wahas ( zoon van Wirun ) en daarna Ujungsabata.
Ardiwijaya – Patih Jayasena ( zoon van Wahas, dipati van Kadiri)
Adaningkung of Kala Amisani – Patih Udara
Kencana Wungu – Patih Logender
Mertawijaya – Patih Gajah Mada
Angkawijaya – Patih Gajah Mada
………
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa Gajah Mada bukanlah Tunggul
Maniq, sehingga Pamoksan Tunggul Maniq yang diklaim di Jawa Timur
tersebut bukanlah Pamokshan Gajah Mada. Semakin kuat kiranya situs
Pamoksan Gajah Mada yang berada di desa Panjer sebagai situs asli
mengingat desa tersebut sejak jaman dahulu selalu menjadi tempat tokoh –
tokoh besar Jawa mengungsi, bersemadhi, bersembunyi dan sebagai basis
kekuatan militer serta pemerintahan darurat ketika kraton asli direbut
oleh pemberontak.
C. Panjer Zaman Mataram Islam.
Mataram Islam adalah Kerajaan Mataram periode ke dua yang pada mulanya
merupakan sebuah hutan lebat yang dikenal sebagai Alas Mentaok, wujud
hadiah dari Hadiwijaya (Sultan Demak terakhir) kepada Ki Ageng Pemanahan
atas jasanya dalam membunuh Arya Penangsang yang merupakan saingan
besar Hadiwijaya dalam perebutan tahta Kerajaan Demak. Ki Ageng
Pemanahan kemudian membabad hutan lebat tersebut dan menjadikannya
sebuah desa yang diberinya nama Mataram. Alas Mentaok itu sendiri
sebenarnya adalah bekas kerajaan Mataram Kuno yang runtuh sekitar tahun
929 M yang kemudian tidak terurus dan akhirnya dipenuhi oleh pepohonan
lebat hingga menjadi sebuah hutan. Alas Mentaok mulai dibabad oleh Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani sekitar tahun 1556 M. Ki Ageng
Pemanahan memimpin desa Mataram hingga Ia wafat pada tahun 1584 M dan
dimakamkan di Kotagedhe. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, sebagai
pengganti dipilihlah putranya yang bernama Sutawijaya/ Panembahan
Senopati (Raja Mataram Islam pertama, dimakamkan di Kotagedhe).
Panembahan Senopati memerintah tahun 1587 – 1601 M. Ia digantikan
oleh putranya yang bernama Raden Mas Jolang/ Sultan Agung Hanyakrawati
(wafat tahun 1613 M dimakamkan di Kotagedhe). Sultan Agung Hanyakrawati
digantikan putranya yang bernama Raden Mas Rangsang yang kemudian
dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma (memerintah tahun 1613 –
1646 M). Sultan Agung Hanyakrakusuma digantikan oleh Putranya yang
bernama Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I memerintah pada tahun 1646
– 1677 M).
Di dalam “Kidung Kejayaan Mataram Bait 04″ (terjemahan Bahasa Indonesia) disebutkan secara Implisit mengenai keberadaan Panjer.
Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat
berangkatlah rombongan Ki Gedhe ke Alas Mataram
di situ ada di antaranya: Nyi Ageng Ngenis, Nyi Gedhe Pemanahan
Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, dan pengikut dari Sesela
Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir
yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna
Setibanya di Pengging rombongan berhenti selama dua minggu
Sementara Ki Gedhe bertirakat di makam Ki Ageng Pengging
Lalu meneruskan perjalanan hingga ke tepi sungai Opak
Dimana rombongan dijamu oleh Ki Gedhe Karang Lo
Setelah itu berjalan lagi demi memenuhi panggilan takdir
hingga tiba di suatu tempat, di sana mendirikan Kota Gedhe
Ki Gedhe Karang Lo yang dimaksud dalam bait di atas adalah pemimpin
daerah Karang Lo (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Karanggayam). Ini
artinya sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam pun, Karang Lo yang
dahulunya merupakan bagian wilayah dari Kadipaten/ Kabupaten Panjer
telah dikenal dan diperhitungkan dalam ranah pemerintahan kerajaan pada
waktu itu (Demak dan Pajang).
Teritorial Panjer Masa Lampau
Kerajaan Mataram Islam mengenal sistem pembagian wilayah berdasarkan
jauh – dekat dan tinggi – rendahnya suatu tempat, sehingga pada saat itu
dikenallah beberapa pembagian wilayah kerajaan yakni:
1. Negara Agung
2. Kuta Negara
3. Manca Negara
4. Daerah Brang/ Sabrang Wetan
5. Daerah Brang/ Sabrang Kulon.
Masa Pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah masa keemasan
Mataram. Ia memerintah dengan bijaksana, adil dan penuh wibawa, sehingga
rakyat pada masa itu merasakan ketentraman dan kemakmuran. Menurut
catatan perjalanan Rijklof Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali
pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma) disebutkan bahwa:
Mataram di bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium
Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang
besar dijaga prajurit yang kuat, kereta sudah ramai, rumah penduduk
jumlahnya banyak dan teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup
makmur dan tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang – orang
jahat pelanggar hukum dan tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang
di Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya
sebuah daerah lumbung pangan (padi) di Panjer dengan bupatinya bernama
Ki Suwarno.
Panjer termasuk dalam katagori daerah Mancanegara Bang/ Brang/
Sabrang Kulon. Jauh sebelum nama Kebumen itu ada, tepatnya di daerah
Karang Lo/ wilayah Panjer Gunung (kini masuk dalam wilayah kecamatan
Karanggayam), sudah terdapat penguasa kademangan di bawah Mataram (masa
pemerintahan Panembahan Senopati sekitar tahun 1587 M). Di daerah
tersebut, cucu Panembahan Senopati yang bernama Ki Maduseno (putra dari
Kanjeng Ratu Pembayun (salah satu putri Panembahan Senopati) dengan Ki
Ageng Mangir VI) dibesarkan. Ki Maduseno menikah dengan Dewi Majati dan
kemudian berputra Ki Bagus Badranala (Bodronolo; makam di desa
Karangkembang; dahulu masuk dalam wilayah Panjer Gunung). Ki Badranala
adalah murid Sunan Geseng dari Gunung Geyong (Sadang Kebumen). Ia
mempunyai peran yang besar dalam membantu perjuangan Mataram melawan
Batavia pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ki Badranala
yang mempunyai jiwa nasionalis tinggi, membantu Sultan Agung dengan
menyediakan lokasi untuk lumbung dan persediaan pangan dengan cara
membelinya dari rakyat desa. Pada tahun 1627 M prajurit Mataram di bawah
pimpinan Ki Suwarno mencari daerah lumbung padi untuk kepentingan
logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi milik Ki Badranala
dan selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer
di bawah kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati Panjer, diangkatlah Ki
Suwarno, dimana tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi
prajurit Mataram. Karier militer Ki Badranala sendiri dimulai dengan
menjadi prajurit pengawal pangan dan selanjutnya Ia diangkat menjadi
Senopati dalam penyerangan ke Batavia.
Dibakarnya Lumbung Padi Panjer
Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung Hanyakrakusuma
disebabkan oleh dibakarnya lumbung – lumbung padi Mataram oleh Belanda,
dimana lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada di
Panjer (lokasi tersebut berada di dalam kompleks daerah yang kini
menjadi Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati yang mempunyai luas sekitar 4
Ha). Peristiwa ini terjadi pada penyerangan Mataram yang ke tiga dan
sekaligus menjadi peperangan terakhir Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Beliau wafat pada awal tahun 1645 M dan dimakamkan di Imogiri.
Selanjutnya, pada masa Sultan Amangkurat I, Panjer berubah menjadi
sebuah desa yang tidak sesibuk ketika masih dijadikan pusat lumbung padi
Mataram pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Pembagian Wilayah Panjer
Panjer masa lalu dibagi dalam dua wilayah yaitu Panjer Roma (Panjer
Lembah) dan Panjer Gunung. Ki Badranala diangkat menjadi Ki Gedhe Panjer
Roma I atas jasanya menangkal serangan Belanda yang mendarat di pantai
Petanahan. Putra tertua Ki Badranala yang bernama Ki Kertasuta bertugas
sebagai Demang di wilayah Panjer Gunung, sedangkan adiknya yang bernama
Ki Hastrasuta membantu ayahnya (Ki Badranala) di Panjer Roma. Ki
Kertasuta kemudian diangkat menjadi Patih Bupati Panjer, Ki Suwarno. Ia
dinikahkan dengan adik ipar Ki Suwarno dan berputra Ki Kertadipa. Ki
Badranala menyerahkan jabatan Ki Gedhe Panjer Roma kepada anaknya (Ki
Hastrasuta) yang kemudian bergelar Ki Gedhe Panjer Roma II. Beliaulah
yang kemudian berjasa memberikan tanah kepada Pangeran Bumidirja / Ki
Bumi ( paman Amangkurat I yang mengungsi ke Panjer sebab tidak sepaham
dengan Sultan Amangkurat I ). Tanah tersebut terletak di sebelah Timur
Sungai Luk Ula dengan panjang kurang lebih 3 Pal ke arah Selatan dan
lebar setengah ( ½ ) Pal ke arah Timur. Pangeran Bumidirja kemudian
membuka tanah ( trukah ) yang masih berupa hutan tersebut dan
menjadikannya desa. Desa inilah yang kemudian bernama Trukahan (berasal
dari kata dasar Trukah yang berarti memulai). Seiring berjalannya waktu
nama desa Trukahan kini hanya menjadi nama padukuhan saja (sekarang
masuk dalam wilayah kelurahan Kebumen). Riwayat desa Trukahan yang
kemudian berubah menjadi Kelurahan Kebumen pun kini nyaris hilang,
meskipun Balai Desa / Kelurahan Kebumen hingga kini berada di daerah
tersebut.
Kutipan dari “Babad Kebumen” menyebutkan:
Kanjeng Pangeran Bumidirdja murinani sanget sedanipun
Pangeran Pekik, sirna kasabaranipun nggalih, punapadene mboten kekilapan
bilih Negari Mataram badhe kadhatengan bebendu. Puntonipun nggalih,
Kanjeng Pangeran Bumidirdja sumedya lolos saking praja sarta nglugas
raga nilar kaluhuran, kawibawan tuwin kamulyan.
Tindakipun Sang Pangeran sekaliyan garwa, kaderekaken abdi tetiga
ingkang kinasih. Gancaring cariyos tindakipun wau sampun dumugi tanah
Panjer ing sacelaking lepen Luk Ula. Ing ngriku pasitenipun sae lan
waradin, toyanipun tumumpang nanging taksih wujud wana tarabatan.
Wana tarabatan sacelaking lepen Luk Ula wau lajeng kabukak kadadosaken
pasabinan lan pategilan sarta pakawisan ingkang badhe dipun degi
padaleman…..
Kanjeng Pangeran Bumidirdja lajeng dhedhepok wonten ing ngriku sarta
karsa mbucal asma lan sesebutanipun, lajeng gantos nama Kyai Bumi…..
Sarehning ingkang cikal bakal ing ngriku nama Kyai Bumi, mila ing ngriku
lajeng kanamakaken dhusun Kabumen, lami – lami mingsed mungel Kebumen.
Dhusun Kebumen tutrukanipun Kyai Bumi wau ujuripun mangidul urut
sapinggiring lepen Luk Ula udakawis sampun wonten 3 pal, dene alangipun
mangetan udakawis wonten ½ pal.
Dalam Babad Kebumen memang tidak terdapat cerita mengenai desa
Trukahan, akan tetapi jika dilihat dari segi Logika Historis yang
dimaksud dengan Desa / Dhusun Kabumian adalah Trukahan. Hal ini dapat
ditelusuri berdasarkan Logika Historis antara lain :
- Wilayah dan nama Trukahan sejak pra kemerdekaan hingga kini masih
tetap ada, dimana Balai Desa / Kelurahan Kebumen dan Kecamatan Kebumen
berada dalam wilayah tersebut ( sedangkan Pendopo Kabupaten masuk dalam
wilayah Kutosari ).
- Makam / Petilasan Ki Singa Patra yang sebetulnya merupakan
Pamokshan, sebagai situs yang hingga kini masih terawat dan diziarahi
baik oleh warga setempat maupun dari luar Kebumen ( meskipun belum
diperhatikan oleh Pemerintah baik Kelurahan maupun Kabupaten ) adalah
makam tertua yang ada di kompleks pemakaman Desa Kebumen. Singa Patra
adalah sosok tokoh yang nyaris hilang riwayatnya, meskipun namanya jauh
lebih dikenal oleh warga Kelurahan Kebumen sejak jaman dahulu kala dan
diyakini sebagai tokoh yang menjadi cikal bakal Desa Trukahan masa
lampau ( bukan Ki Bumi ). Tokoh ini hidup lebih awal dibandingkan masa
kedatangan Badranala, sebab Beliau ( Badranala ) yang hidup pada masa
Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah pendatang di desa Panjer ( Lembah /
Roma ). Beliau sendiri berasal dari daerah Karang Lo ( yang dahulu masuk
dalam wilayah Panjer Gunung ). Sebagai seorang pendatang yang kemudian
berdiam di Panjer Roma, Badranala memperistri Endang Patra Sari. Endang
adalah sebutan kehormatan bagi perempuan Bangsawan. Hal ini bisa kita
lihat pada situs pemakaman Ki Badranala di desa Karangkembang dimana
terdapat beberapa makam yang menggunakan Klan / Marga Patra, dimulai
dari Istri Badranala sendiri, hingga beberapa keturunannya.
- Hilangnya babad Trukahan dan riwayat Ki Singa Patra dimungkinkan
adanya kepentingan politik penguasa waktu itu. Terlebih riwayat Babad
Kebumen baru diterbitkan pada tahun 1953 di Praja Dalem Ngayogyakarta
Hadiningrat oleh R. Soemodidjojo ( seorang keturunan KP. Harya
Cakraningrat / Kanjeng Raden Harya Hadipati Danureja ingkang kaping VI,
Pepatih Dalem ing Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ), yang notabene
bukan warga asli bahkan mungkin tidak pernah sama sekali tinggal di
Panjer ataupun Trukahan / Kebumen. Dengan kata lain, warga Kelurahan
Kebumen baru mengenal sosok Bumidirdja semenjak diterbitkannya riwayat
Babad Kebumen yang kini lebih populer dengan adanya media Internet.
- Kurun waktu Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma jelas lebih tua
daripada Bumidirja. Sedangkan Ki Badranala yang kemudian bermukim di
Panjer saat itu telah memperistri perempuan dari Klan Patra ( yang
mengilhami nama sebuah Hotel di Kota Kebumen ).
- Menurut “ Sejarah Kebumen dalam Kerangka Sejarah Nasional “ yang
ditulis oleh Dadiyono Yudoprayitno ( Mantan Bupati Kebumen ) disebutkan
bahwa Pangeran Bumidirdja membuka tanah hasil pemberian Ki Gedhe Panjer
Roma II / Ki Hastrosuto ( anak Ki Badranala ). Riwayat ini pun tidak
disebutkan dalam Babad Kebumen. Riwayat yang lebih terkenal sampai saat
ini adalah riwayat yang ditulis oleh R. Soemodidjojo yang notabene bukan
warga asli dan bahkan mungkin belum pernah tinggal di Kebumen, dimana
diceritakan bahwa Kebumen berasal dari kata Ki Bumi yang merupakan nama
samaran dari Pangeran Bumidirja yang kemudian trukah di tepi sungai Luk
Ula, sehingga kemudian tempat tersebut dinamakan Kebumian.
- Pasar Kebumen, pada awalnya berada di wilayah Trukahan, tepatnya di
daerah yang kini menjadi kantor Kecamatan Kebumen hingga kemudian pindah
ke daerah yang kini menjadi pasar Tumenggungan. Maka daerah di sekitar
bekas pasar lama tersebut sampai sekarang masih bernama Pasar Pari dan
Pasar Rabuk, karena memang lokasi pasar lama telah menggunakan sistem
pengelompokan.
- Adanya pendatang setelah dibukanya tanah / trukah seperti yang
disebutkan dalam Babad Kebumen yang kemudian bermukim, juga bisa
diperkirakan mendiami daerah yang kini bernama Dukuh. Hal ini
dimungkinkan dengan sebutan nama Dukuh yang telah ada sejak lama.
Asal Mula Nama Tumenggung Kalapaking
Datangnya Pangeran Bumidirdja di Panjer, menimbulkan kekhawatiran Ki
Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara Panjer Gunung karena
Pangeran Bumidirdja saat itu dinyatakan sebagai buronan Kerajaan.
Akhirnya Ki Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara memutuskan
untuk meninggalkan Panjer dan tinggallah Ki Kertawangsa yang dipaksa
untuk tetap tinggal dan taat pada Mataram. Ia diserahi dua kekuasaan
Panjer dan kemudian bergelar Ki Gedhe panjer Roma III. Dua Kekuasaan
Panjer (Panjer Roma dan Panjer Gunung) membuktikan bahwa Panjer saat itu
sebagai sebuah wilayah berskala luas sehingga dikategorikan dalam
daerah Mancanegara Brang Kulon.
Pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya berhasil menduduki istana Mataram
di Plered yang ketika itu diperintah oleh Sultan Amangkurat Agung
(Amangkurat I). Sebelum Plered dikuasai oleh Trunajaya, Sultan
Amangkurat Agung dan putranya yang bernama Raden Mas Rahmat berhasil
melarikan diri ke arah Barat. Dalam pelarian tersebut, Sultan Amangkurat
Agung jatuh sakit. Beliau kemudian singgah di Panjer (tepatnya pada
tanggal 2 Juni 1677) yang pada waktu itu diperintah oleh Ki Gedhe Panjer
III. Sultan Amangkurat I diobati oleh Ki Gedhe Panjer III dengan air
Kelapa Tua (Aking) karena pada waktu itu sangat sulit mencari kelapa
muda. Setelah diobati oleh Ki Gedhe Panjer III, kesehatan Sultan
Amangkurat I berangsur membaik. Beliau kemudian menganugerahi gelar
kepada Ki Gedhe Panjer III dengan pangkat Tumenggung Kalapa Aking I
(Kolopaking I, sebagai jabatan Adipati Panjer I (1677 – 1710).
Tumenggung Kalapaking I digantikan oleh putranya dan bergelar Tumenggung
Kalapaking II (1710 – 1751), dilanjutkan oleh Tumenggung Kalapaking III
(1751 – 1790) dan Tumenggung kalapaking IV (1790 – 1833 )). Setelah
merasa pulih, Sultan Amangkurat Agung melanjutkan perjalannya menuju ke
Barat, akan tetapi sakitnya ternyata kambuh kembali dan akhirnya Beliau
wafat di desa Wanayasa (Kabupaten Banyumas) tepatnya pada tanggal 13
Juli 1677. Menurut Babad Tanah Jawi, kematian Sultan Amangurat Agung
dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Raden Mas Rahmat (putranya
sendiri yang menyertai Beliau dalam pelarian). Sesuai dengan wasiatnya,
Beliau kemudian dimakamkan di daerah Tegal Arum (Tegal) yang kemudian
dikenal dengan nama Sunan Tegal Wangi. Sementara itu tampuk kepemimpinan
Panjer periode Kolopaking hanya berlangsung hingga Kalapaking IV
dikarenakan adanya suksesi di Panjer pada waktu itu antara Kalapaking IV
dan Arungbinang IV yang berakhir dengan pembagian wilayah dimana Trah
Kalapaking mendapat bagian di Karanganyar dan Banyumas, sedangkan
Arungbinang tetap di Panjer. Suksesi inilah yang mengakibatkan kematian
Kalapaking IV setelah peristiwa penyerbuan Kotaraja Panjer oleh Belanda
yang bekerjasama dengan Arungbinang IV karena Kalapaking IV mendukung
Pangeran Diponegoro yang sebelumnya sempat menyusun kekuatan pasukan di
daerah tersebut. Sejak pemerintahan Arungbinang IV inilah Panjer Roma
dan Panjer Gunung digabung menjadi satu dengan nama Kebumen. Untuk
memantapkan kedudukan setelah kemenangannya atas peristiwa pembagian
wilayah, Arungbinang IV mendirikan Pendopo Kabupaten baru yang kini
menjadi Pendopo dan Rumah Dinas Bupati Kebumen lengkap dengan alun
-alunnya. Adapun Pendopo Kabupaten lama / Kabupaten Panjer kemungkinan
berada di lokasi Pabrik Minyak Sari Nabati Panjer, dengan memperhatikan
tata kota yang masih ada ( seperti yang penulis paparkan dalam sub judul
Metamorfosis Panjer ) dan luas wilayah Pabrik yang mencapai sekitar 4
Ha, serta adanya pohon – pohon Beringin tua yang dalam sistem Macapat
digunakan sebagai simbol suatu pusat pemerintahan kota zaman kerajaan.
Begitu juga dengan Tugu Lawet yang pada awalnya merupakan tempat
berdirinya sebuah Pohon Beringin Kurung (yang kemudian ditebang dan
dijadikan Tugu Lawet ), dimana di sebelah Utaranya adalah Kamar Bola
(gedung olahraga, pertunjukan dan dansa bagi orang Belanda) serta lokasi
pasar Kebumen lama yang pada awalnya berada di wilayah Trukahan ( pusat
pasar rabuk berada di sebelah Timur Balai Desa Kebumen, pasar lama
berada di sebelah Utara klenteng, sub pasar rabuk berada di sebelah
Utara pasar lama, pasar pari / padi berada di sebelah Selatan klenteng
dan pasar burung yang tadinya merupakan Gedung Bioskup Belanda sebelum
dihancurkan dan kemudian didirikan gedung Bioskup Star lama di sebelah
Timur Tugu Lawet ( sumber : wawancara tokoh sepuh desa Kebumen )),
semakin menguatkan bahwa pusat pemerintahan Kabupaten Panjer / Kebumen
tempo dulu adalah di desa Panjer dan Trukahan. Hal ini sesuai juga
dengan kurun waktu berdirinya Masjid Agung Kauman Kebumen yang didirikan
oleh KH. Imanadi pada masa pemerintahan Arungbinang IV (setelah masa
Diponegoro) yang membuktikan bahwa berdirinya Pendopo Kabupaten Kebumen
dan Masjid Agung Kauman di wilayah Kutosari merupakan pindahan dari
pusat kota lama di Panjer.
D. Panjer sebagai Tempat Persembunyian, Bersemadhi dan Penyusunan Strategi Perang Pangeran Diponegoro
Pecahnya perang Diponegoro pada tanggal 20 juli 1825 meluas sampai ke
wilayah Kedu, Bagelen, Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Pada tanggal 21
Juli 1826 datanglah utusan Pangeran Diponegoro ke Kotaraja Kabupaten
Panjer ( lokasi Kotaraja tersebut kini berada di kompleks eks pabrik
minyak kelapa Sari Nabati Panjer, sedangkan lokasi Kodim 0709 Kebumen
dahulunya dinamakan Kebun Raja atau Taman Raja karena disitulah
taman/kebun Kabupaten Panjer berada). Utusan Pangeran Diponogoro
tersebut bernama Senopati Sura Mataram dan Ki Kertodrono (Adipati
Sigaluh Karanggayam). Kedatangan mereka di Panjer Roma disambut oleh
Tumenggung Kalapaking IV, Senopati Somawijaya dan Banaspati Brata
Jayamenggala (nama asli Mbah Jamenggala yang akhirnya dihukum gantung
oleh Belanda di tengah alun – alun Kebumen karena mendukung Pangeran
Diponegoro). Bersamaan dengan utusan tersebut, datang pula tamu dari
Kradenan yaitu Ki Cakranegara. Mereka kemudian mengadakan perundingan
dengan keputusan untuk membantu Perjuangan Pangeran Diponegoro yang
sedang melawan Belanda. Adipati Panjer Roma ( Tumenggung Kalapaking IV )
bertugas menyediakan logistik pangan, dan persenjataan untuk para
prajurit Panjer Roma yang dipimpin oleh Senopati Gamawijaya.
Pada tanggal 19 November 1826 terjadi perang besar di Purworejo antara
Belanda melawan Pangeran Diponegoro yang pada saat itu dibantu oleh
prajurit Banyumas. Dalam perang tersebut Pangeran Diponegoro jatuh sakit
sehingga pasukan Banyumas mundur dan bersembunyi di benteng Sokawarna.
Pangeran Diponegoro sendiri bersembunyi di sebuah gua selama beberapa
hari hingga pulih. Setelah sembuh dari sakitnya, Pangeran Diponegoro
segera berangkat ke Kotaraja Panjer untuk menyusun strategi dan kekuatan
bersama Tumenggung Kalapaking IV. di sana pulalah Beliau selama 3 hari
bersemadhi di kompleks makam kuno dan Pamokshan Maha Patih Gajah Mada
yang dari dahulu telah menjadi salah satu tempat semadi para tokoh –
tokoh Mataram ( Lokasi tempat pertemuan dan peristirahatan sementara
Pangeran Diponegoro itu kini menjadi taman kanak – kanak PMK Sari
Nabati. Di tempat itu pula lah kuda tunggangan Beliau beristirahat
sementara Pangeran Diponegoro bersemadhi di Pamokshan Maha Patih Gajah
Mada yang kini terbengkalai, bahkan dijadikan gudang kursi – kursi
rongsokan oleh pengelolanya).
Keberadaan Pangeran Diponegoro di Kotaraja Panjer ternyata tercium
juga oleh Belanda. Beliau berhasil meloloskan diri dari Kotaraja Panjer
sebelum daerah tersebut diserbu oleh Belanda yang bekerjasama dengan
Adipati Arungbinang IV. Penyerbuan terhadap Kotaraja Panjer itu sendiri
dilakukan secara besar – besaran dari tiga jurusan ( dari arah timur,
selatan, dan barat )yang mengakibatkan tewasnya Tumenggung Kalapaking IV
akibat terluka cukup parah dalam pertempuran tersebut.
Metamorfosis Historis Panjer
Seiring berjalannya waktu dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Panjer
juga tidak luput dari kekuasaan Belanda. Panjer tetap dijadikan basis
pemerintahan oleh Pemerintah Belanda karena lokasinya yang sangat
strategis ( meskipun sejarah masa lalu itu telah hilang ). Hal ini dapat
kita lihat dari sisi genetik historisnya dimana Panjer sampai saat ini
adalah suatu desa / kelurahan yang lengkap dengan fasilitas – fasilitas
yang dibangun oleh Belanda jauh sebelum kemerdekaan, seperti: Stasiun
Kereta Api, Rumah Sakit ( dahulu dikenal dengan nama Sendeng; berasal
dari kata Zending yang berarti politik penyebaran agama Pemerintah
Kolonial Belanda dengan cara pertolongan kesehatan ), Gedung
Pertunjukan, Pertahanan Militer, Perumahan Belanda yang lebih dikenal
dengan nama KONGSEN ( berasal dari kata Kongsi ), Taman Kanak – Kanak
yang dahulunya merupakan tempat pendidikan dan bermain bagi anak – anak
para Pejabat Belanda yang tinggal di wilayah tersebut, serta Pabrik
Minyak Kelapa Sari Nabati ( yang hingga kini menjadi milik Perusda
Propinsi Jateng yang tutup sekitar tahun 1985 ). Pergantian kekuasaan
sejak zaman Mataram Islam, Kolonial
Belanda, hingga Pemerintahan NKRI
ternyata tidak mempengaruhi perubahan desa Panjer dari segi Substansi
dan Genetik Historis. Hal ini dapat kita lihat dengan sebuah pembanding
sebagai berikut :
Panjer Zaman Kediri
Pada saat itu Panjer telah dikenal sebagai sebuah Kadipaten yang besar dan ramai.
Panjer Zaman Majapahit
Maha Patih Gajah Mada yang konsisten dengan Sumpah Palapanya memilih
mokhsa di tempat ini, jauh dari pusat kerajaan Majapahit di Trowulan.
Panjer Zaman Pajang
Ki Gedhe Karang lo yang menjamu Ki Ageng Pemanahan dan Rombongannya
sebelum mendirikan Desa Mataram yang kemudian menjadi Kerajaan Mataram
Islam membuktikan bahwa Panjer telah menjadi suatu daerah yang memiliki
kedaulatan konvensional dalam rahan pemerintahan saat itu.
Panjer Zaman Sultan Agung
- Sebagai Lumbung padi, Pusat Logistik serta basis militer Pasukan Mataram
- Sebagai Kotaraja Kabupaten Panjer (yang tentunya telah memiliki
kelengkapan fasilitas seperti kesehatan, transportasi, budaya, ekonomi,
pendidikan dan lain – lain meskipun masih bersifat sederhana)
- Sebagai Basis Militer Mataram
Panjer Zaman Kolonial Balanda (kemudian diteruskan oleh Jepang)
- Sebagai Pusat logistik yakni dengan didirikannya Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati ( seluas 4 Ha ).
- Sebagai desa yang memiliki berbagai fasilitas seperti Transportasi (
dengan didirikannya stasiun ), Perumahan Belanda ( lebih dikenal dengan
sebutan Kongsen lengkap dengan sarana dan prasarananya baik sarana
pendidikan anak – anak, Kesehatan ( Zending / Sendeng ) gedung
Pertunjukan ( Gedung Bioskup Gembira ), gedung olahraga dan aula yang
terdapat di dalam lokasi pabrik, dan lain – lain.
- Basis Militer Belanda
Panjer Zaman Kemerdekaan
- Sebagai Pusat Logistik ; dengan didirikannya Pabrik Minyak Kelapa
Sari Nabati oleh Belanda yang setelah tutup sekitar tahun 1985 kemudian
beralih fungsi sebagai gudang penampungan tebu sementara sebelum diolah
menjadi gula pasir di Pabrik Gula Yogyakarta; disewakan kepada pabrik
rokok untuk menampung cengkeh ( sekitar tahun 1989 ), disewakan sebagai
gudang penyimpanan bijih Plastik ( sekitar tahun 1990 ), disewakan
sebagai gudang beras Bulog, disewakan sebagai lahan perkebunan semangka;
disewakan sebagai kantor Pajak; disewakan sebagai tempat penyimpanan
sementara alat – alat berat kesehatan RSU; Sebagai tempat penampungan
sementara Kompor dan tabung gas dalam rangka program konversi gas pada
tahun 2009.
- Terdapatnya pusat transportasi Kereta Api (stasiun Kereta Api Kebumen)
- Bertempatnya Markas TNI / Kodim Kebumen
- Terdapatnya tempat pertunjukan Film (gedung Bioskop Gembira, yang kini telah dibangun dan dialihkan fungsi)
- sebagai tempat RSUD Kebumen
- Terdapatnya tempat pendidikan Taman Kanak – Kanak PMK Sari Nabati
- Terdapatnya Lapangan Tenis dan Bulutangkis, serta menjadi tempat
latihan Beladiri berbagai Perguruan yang ada di wilayah Kebumen (sekitar
tahun 1990 an)
- terdapatnya Perumahan Nabatiasa
- Pernah didirikan pula sekolah SLTP/ MTS Sultan Agung
- Berdiri pula PGSD sebagai cabang dari Universitas Sebelas Maret
- dan lain – lain.
Dilihat dari fakta – fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Panjer dari masa ke masa tidak memiliki perubahan fungsi, hanya saja
terus menyesuaikan dengan perkembangan peradaban dan budaya.
Perbaikan Situs Pamokshan dan Pertabatan
Setelah terkubur sejarahnya selama beberapa abad, akhirnya Situs
Pamokshan Gajah Mada dan Pertabatan Panjer dihidupkan kembali dan
dirawat oleh para pemuda dan tokoh masyarakat setempat. Bukti – bukti
tertulis dari kitab – kitab dan babad – babad serta literatur yang ada
pun telah dikumpulkan, disamping petunjuk yang diperoleh dari sasmita
para leluhur yang menemui saat bertirakat sebelum kegiatan perbaikan
situs tersebut dimulai. Pembersihan dan perbaikan situs dimulai pada
hari selasa Kliwon tanggal 12 April 2011. Sejak saat itulah situs
berharga di Panjer yang telah telah dijadikan sebagai tempat pembuangan
sampah oleh masyarakat setempat akibat ketidaktahuan mereka itu kembali
muncul. Situs yang dahulu kala menjadi salah satu Pancernya Panjer
kembali muncul dari pengkebumiannya.
Bangsa Yang Besar adalah bangsa yang mengenal kepribadiannya serta selalu mengingat dan menghargai jasa para pendahulunya,
dengan mengenal dan menjaga sebaik mungkin sejarahnya, serta
melestarikan budaya warisannya. Bangsa Yang Besar selalu menyimpan
Rahasia Kejayaannya dalam Pekuburan Tulang Naga ( kebudayaan adalah
kuburan “Rahasia Kejayaan” para leluhur ). Meski kebenaran yang hakiki
tidak akan pernah bisa dipastikan, menjaga sejarah, kesenian dan budaya
adalah wujud dari cinta tanah air dan bangsa. Semoga desa Panjer yang
penuh sejarah tersebut segera mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah dan pihak – pihak yang terkait lainnya, dalam rangka
menghidupkan kembali Kearifan Budaya Lokal. Situs Kerajaan Panjer Kuno
yang senasib dengan situs kerajaan Kediri milik Prabu Jayabaya tersebut
(kedua situs kerajaan tersebut dihapus jejaknya oleh VOC dengan diubah
menjadi Pabrik : Pabrik Gula Mamenang untuk Situs Kediri dan Pabrik
Minyak Kelapa Sari Nabati untuk Situs Panjer) sangat memungkinkan untuk
dikembangkan dengan menjadikan puing – puing Pabrik Sari Nabati menjadi
tempat wisata sejarah dan spiritual layaknya Benteng Vander Wijk Gombong
yang pastinya akan menambah aset pariwisata dan pemasukan bagi
Kabupaten Kebumen. Panjer yang menyimpan sejarah kebesaran masa lalu
mungkin bisa dikebumikan dan dikuburkan riwayatnya akan tetapi Panjer
sebagai tempat para leluhur bersemayam akan tetap abadi dayanya
mendukung Jejer/ Lenggahnya Pancasila. Panjer yang mengandung makna
Pancasila Jejer akan selalu ikut mendayai bangsa demi kembalinya wahyu
Pancasila yang akan mendamaikan dunia. Semoga keluhuran Pancasila segera
lenggah dan semoga semua yang menghalang – halangi murube daya
kaluhuran Pancasila segera binengkas oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui
daya alam dan para leluhur bangsa.
Salam Pancasila!
ditulis oleh :
R. Ravie Ananda, S. Pd.
Jln. Garuda 13 Kebumen Jawa – Tengah Indonesia
Sumber : http://kebumen2013.com/sejarah-cikal-bakal-kabupaten-kebumen/