Senin, 15 September 2014

Jalan Antara Bulupayung dan Pecangkringan


Jalan penghubung Desa Bulupayung dan Pecangkringan

Siang itu langit sangat cerah hanya sedikit awan kecil melintas, saya masih duduk diatas jok sepeda motor yang berhenti di pinggir jalan yang di tumbuhi rumput. Jalan yang jadi penghubung antara desa Bulupayung dengan Pecangkringan kelurahan Mangunharjo kecamatan Adimulnyo Kebumen.

Jalan yang membelah persawahan dengan barisan pohon jati menjadikan siang itu tidak terasa panas, apalagi dengan tiupan angin dan suara gesekan pohon padi dan daun jati, jauh dari suara bissing kendaraan. menjadikan enggan untuk beranjak dari tempat. Walau suasana sepi tetapi saya tau betul jalan itu jauh dari orang-orang jahat, bahkan tidak sedikit setiap orang lewat akan menganggukan kepala atau sekedar senyum sebagai ciri khas budaya salam sapa masyarakat pedesaan. Senyum sapa yang mulai jarang di temukan di kota-kota besar. 

Di jalan itu, jalan penghubung antar desa, yang dulu merupakan tempat favorit bermain anak-anak kecil, tempat penggembala kambimg, tempat bermain layang-layang, tempat mencari ikan dikala musim penghujan dan tempat tongkrongan anak muda, itu dulu. Tetapi sekarang seiring dengan kemajuan jaman tempat itu hanya dijadikan tempat obrolan bapak-bapak sehabis menengok sawah atau tempat istirahan bapak petani dikala sedang membajak sawah. 

Tetapi ada pemandangan yang sejak dulu hingga sekarang belum hilang, yaitu bila musim panen tiba disisi sepanjang jalan tersebut akan selalu di manfaatkan untuk menjemur padi. Seperti pada saat itu kurang lebih 300 meter panjangnya berderet rapi jemuran padi. Cukup membuat warna tersendiri tentang suasana kehidupan masyarakat pedesaan.
Berderet Jemuran Padi yang memanfaatkan sisi jalan

Bila dibandingkan dengan hiruk pikuknya kota besar maka rasa syukurku kepada sang pencipta akan muncul, syukur karena saya ditakdirkan lahir dan besar di kampung, disitulang jiwa dan watak saya terbentuk yang akan melahirkan sifat ulet, berani susah dan pantang menyerah jauh dari kesombongan. Walau di kemudian hari akan hidup di kota atau di daerah lain paling tidak bawaan sifat dan didikan ala kampung akan membekas untuk modal hidupku. Tanpa bermaksud mengecilkan orang yang terlahir di kota.

Begitulah gambaran sedikit tentang desaku desa Bulupayung yang selalu kurindukan dimanapun saya berada. Ada ungkapan semakin jauh dari kampung halaman semakin rindu akan tradisi dan budayanya. Bagi sobat yang punya waktu yuk kita tengok tanah kelahiranya...

Selasa, 02 September 2014

Sore di Ujung Desa Bulupayung

Di pertigaan jalan itulah saya dan istriku menikmati indahnya sore hari
Bulupayung itulah nama desaku desa yang masuk wilayah kelurahan Mangunharjo kabupaten Kebumen merupakan desa terpencil yang di kelilingi persawahan. Desa yang selalu kurindukan dimanapun saya berada. Tak terkecuali hari itu yang kebetulan musim panen sangat membangkitkan gairahku untuk melihatmu.
 
Saat itu di handphon saya menunjukan arah jam 15.18 menit, kedua anaku sedang asik bermain bola dengan anak-anak sebayanya, tidak mau mengganggunya. Akhirnya saya ajak istriku berkeliling desa disore itu dengan menaiki sepeda motor. Setelah puas berkeliling saya berhenti di sudut desa sebelah barat daya, karena disitulah panorama dan suasana yang sangat menguntungkan untuk sekedar duduk berduaan. Hamparan sawahnyang menguning untuk siap dipanen dan kesibukan para petani yang berlalu lalang di pematang sawah sangat mengingatkan masa kecilku dulu.
.
Saya berdiri menatap kepenjuru arah sawah sambil sesekali tanganku memainkan handphone, Sementara istriku mengambil posisi duduk di jembatan kecil sambil memandang hamparan sawah. Tiba-tiba terdengan suara laki-laki memanggil namaku, dan sepertinya suara itu sangat ku kenal, yah... suara itu suara temenku waktu kecil dulu, ternyata dia habis selesai menjemur padi (gabah). Maka terjadilah obrolan tentang kisah hidup masing-masing, tak lupa ku kenalkan istriku ke temanku itu. Cukup lama juga saya ngobrol dengan di selingi gurauan akhirnya dia pamit pulang dan saya melanjutkan menikmati indahnya sore.

Saat matahari terbenam

Sore itu orang masih sibuk dengan rutinitasnya, sibuk memanen padi, sibuk menjemur padi atau hanya sekedar berjalan-jalan melihat-lihat sawah. Di langit sebelah barat matahari sudah berubah warna menjadi kemerahan bertanda hari mulai sore. Saya masih berdiri menatap enggan untuk meninggalkan tempat itu. Diselingi cerita masa kecil dulu kepada istriku. Seperti biasa saya selalu mengabadikan setiap tempat yang dirasa bagus dan mempunyai nilai sejarah buat saya dengan kamera handphone. Mulutku teus ngoceh tentang masa kecil kepada istriku serasa ada kebangggaan yang mau kutunjukan, dengan tetap memainkan camera handphone.  pokoknya gemaguslah..
.

Setelah puas mengambil gambar barulah saya duduk di samping istri sambil menunjukan hasil jepretan camera handphone. Ada gambar aneh dari hasil jepretan saya disitu terlihat album foto matahari terbenam, nampak seperti ada lubang cahaya matahari yang muncul dari tengah sawah. Mungkin itu hanya sebuah pantulan cahaya kamera sehingga membentuk hasil gambar yang menarik. yang kuanggap hasil foto terbaiku di moment itu.
 
Hasil foto yang ku ambil dengan Handphon, nampak seperti ada lubang di tengah sawah
Setelah puas ngobrol dan menikmati indahnya sore hari di desaku dan jam di handphone sudah menunjukan pukul 17.45. Saya mengajak pulang istriku, kawatir kedua anaku mencarinya.  Saat itu di sawah masih ada beberapa orang yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaanya.

Begitulah cerita sekelumit tentang Desaku yang menurut saya cukup mempesona, desa dimana dulu saya dilahirkan dan di besarkan. Di desa inilah saya di didik menjadi karakter pribadi yang mandiri, dengan harapan orang tua mampu menjadi manusia yang mandiri dan ulet.