Senin, 30 Juni 2014

Ketika di Sudut Desa "Bulupayung"

Hari itu Kamis Juni 2014 saya pulang kampung untuk menghadiri pernikahan saudara sepupu. seperti biasanya setiap pulang kampung selalu keliling kampung dengan naik motor di temanin anak laki-laki saya, sambil bercerita masa kecil. Tempat faforit saya yaitu di sudut utara dan sudut selatan desa karena di sanalah banyak kenangan masa kecilku. 

Sambil bergaya seperti foto model saya dan anaku mengabadikanya dengan Handphone jeprat sana jepret sini setelah puas saya duduk di jembatan sudut desa sebelah selatan sambil memandangi hijaunya sewah. Pikiranku menerawang ke masa lalu ditempat inilah dulu saya bermain dengan adik dan teman saya dari mulai sekedar melihat orang main burung merpati sampai cuma duduk-duduk. Di tempat ini juga saya dengan teman sebaya bermain layangan, mencari ikan dan masih banyak lagi. 

Dan masih kebayang sekitar tahun 1980-an, bagaimana masa kecilku bersama adik dan Bapaku setiap pulang sekolah pergi ke sawah membantu mencabut benih padi "ndaut", nyangkul, mencabut rumput "matun". Sambil menikmati kiriman makanan dari Ibu komplit dengan nasi putih, tempe dan sayur nangka tentunya dengan sambelnya, terasa nikmat luar biasa. Itu rutin dilakukan setiap musimnya.

Pematang sawahlah tempat faforitnya di tempat itulah berbagai kenangan tercipta dari mulai ngobrol serius dengan Bapak Ibu dan Saudara saya atau hanya sekedar bercanda atau bahkan lempar-lemparan lumpur. Pokoknya sangat mengasikan.
Pematang sawah merupakan batas antara petak sawah yang satu dengan petak yang lain. Sehingga hak dan kwajiban dibatasi oleh pematang ini. Sehingga tidak ada tumpang tindih antara petani satu dengan lainnya dalam satu area sawah yang saling berdampingan. Pematang sawah adalah sebuah komonitas, yang membedakan tanaman satu dengan tanaman yang lainya.



Pematang sawah juga menjadi saluran irigasi, dimana ribuan hektar petak sawah akan mendapatkan irigasi, keadilan dan pemerataan disini sangatlah mutlak, agar tidak menimbulkan keribuatan di saat sawah-sawah memerlukan irigasi. Diperlukan pengaturan yang khusus namun tidak pernah tertulis dalam hal ini, sering kali hukum adat yang mengaturnya. Dan peraturan ini sangat dipatuhi oleh pemilik lahan.

Pematang sawah juga merupakan pelindung, agar air yang masuk petak tidak keluar mengaliri petak tetangga.
Pematang sawah juga tempat pavorit anak-anak bermain, bersenda gurau, bermain lumpur disaat musim garap sawah tiba, dan tempat berlarian anak-anak yang main layang-layang. Dan pematang sawah ini juga merupakan tempat pavorit untuk mencari belut atau kepiting semasa anak-anak dulu.

Jumat, 20 Juni 2014

Mengenang Dokar "Desa Meles" Kebumen



Alhamdulillah saya sudah sampai rumah di kampung dengan aman dan selamat walau sedikit terlambat, saya anggap biasa karena jalanan sedikit macet. Masih terbayang saat perjalanan menuju kampung halaman setelah keluar dari jalan utama lingkar selatan Antara Gombong dan Karanganyar Kebumen. Banyak kenangan disaat perjalanan dari mulai pasar Karanganyar hingga desa saya. Saat berpapasan dengan kendaraan Dokar sejenis delman pikiranku menerawang ke masa lalu dimana saya kecil dulu.

Dokar merupakan salah satu alat transportasi tradisional di daerah saya terutama di Desa Meles. Keberadaan Dokar sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri, yang hingga kini masih terus dilestarikan, sebagai salah satu budaya Indonesia.

Biasanya, keberadaan Dokar difungsikan sebagai alat transportasi pengangkut barang-barang dagangan ibu-ibu dari pedesaan menuju pasar-pasar. Selain berfungsi sebagai media pengangkut barang dagangan pasar, Dokar juga tidak jarang berfungsi sesuai dengan aslinya sebagai alat transportasi umum bagi masyarakat.

Kepopuleran Dokar di daerah saya biasanya akan muncul pada hari hari besar tertetu seperti saat musim lebaran, serta event-event perayaan tertentu. 

Beberapa orang sering menyebut andong dengan dokar, bendi atau delman. Padahal andong berbeda dengan dokar, bendi atau delman. Salah kaprah ini muncul karena informasi yang tidak akurat dan mulai berkurangnya pengajaran-pengajaran serta pengetahuan tentang hal ini dari para sesepuh. Orang-orang tua dan Bapaku waktu itu pernah menuturkan bahwa diantara letak perbedaan paling sederhana dan mudah dari andong dengan dokar atau kereta-kereta bertenaga kuda lainnya adalah pada jumlah roda dan bentuk keretanya.

Dokar hanya mempunyai dua roda dan ditarik oleh satu kuda saja, sedangkan Andong mempunyai roda empat yang bisa ditarik satu atau dua kuda. Pada Andong, kita masih bisa mencuri cara numpang secara gratis. Caranya dengan naik pada papan bak belakang kereta. Sedangkan pada Dokar, Delman, atau Bendi cara itu tidak mungkin bisa terpakai karena pintu masuk keretanya berada dari arah belakang. Konon menurut orang-orang tua, model kereta kuda transportasi umum ala Andong dengan roda empat ini hanya dapat ditemui di Solo dan Yogyakarta saja (di Indonesia). Inilah yang kemudian membuat Andong berbeda dengan model kereta berkuda lainnya sekaligus menjadi daya tarik yang unik.

Menurut sejarah nama kendaraan ini berasal dari nama penemunya, yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur pada masa Hindia Belanda. Orang Belanda sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama dos-à-dos (punggung pada punggung, arti harfiah bahasa Perancis), yaitu sejenis kereta yang posisi duduk penumpangnya saling memunggungi. Istilah dos-à-dos ini kemudian oleh penduduk pribumi Batavia disingkat lagi menjadi ‘sado’.

Alat transportasi delman ini sendiri bisa kita temukan hampir diseluruh wilayah Indonesia dan dengan sebutan khas daerah masing-masing pula. Di Jakarta alat transportasi ini dikenal dengan nama sado. Istilah lain yang dikenal masyarakat adalah Dokar. Sebagian kalangan menyakini nama dokar berasal dari Bahasa Inggris dog car. Keberadaan dokar sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas tersendiri di tempat-tempat wisata,