Sabtu, 11 Februari 2012

Sejarah Kaleng, Pucang, Brangkal, Kabupaten Roma (Jatinegara), Kruwed, dan Kabupaten Karanganyar: Perspektif Kebangkitan Nasional 1825-1900


Kantor Pos Gombong tahun 1920
Kantor Pos Gombong tahun 1920 (kitv Belanda)

Embrio Kabupaten Roma
Kabupaten Roma merupakan hasil Blengketan (fusi) dari Kabupaten Pucang dan Kabupaten Kaleng (pesisir Selatan). Fusi ini merupakan keputusan Sultan Pajang pada tahun 1543. Kabupaten ini beribukota di Sidayu (Utara Gombong).
Sebelum difusikan, Bupati Pucang dijabat oleh Kyai Adipati Jannah yang sebelum menjabat bernama Kyai Bojogati (makam di Gunung Grenggeng; timur Panembahan Grenggeng). Sedangkan Bupati Kaleng dijabat oleh Kyai Adipati Banyakgumarang, keturunan Adipati Pasir (Purwokerto) yang bernama Raden Kamandaka/Lutung Kasarung, keturunan dari Raja Pajajaran.
Sebagai Bupati Roma pertama diangkatlah Kertiwicana I. Sedangkan putra dari Bupati Kaleng diberi jabatan Ngabei (setingkat Wedana) di Kaleng dengan gelar Kyai Ngabei Wirokerti. Kertiwicana I wafat (dimakamkan di Sampang) dan digantikan oleh putranya yang bergelar Kertiwicana II (makam di Sampang) yang setelah wafatnya digantikan oleh putranya yang bergelar Kertanegara I. Pada masa pemerintahan Kertanegara I inilah ibukota kabupaten Roma dipindah di Jatinegara.

Asal – Usul Nama Wagerglagah/Wagirglagah
Setelah Kabupaten Kaleng dan kabupaten Pucang difusikan oleh Sultan pajang, Kyai Banyakgumarang menekuni dunia kapanditan (mbegawan) dengan belajar dan memperdalam agama Islam kepada Panembahan Grenggeng. Setelah dirasa memiliki bekal yang cukup, Banyakgumarang bertapa di gunung Pletuk, desa Kedungwringin, utara Gombong. Bertahun – tahun ia bersila tanpa bergerak, sampai tempat bersila dan badannya ditumbuhi alang – alang dan rumput glagah. Utusan Kanjeng Panembahan Grenggeng yang diperintahkan untuk memanggil Banyakgumarang pun mengalami kesulitan saat menemukannya. Setelah membabati glagah dan ilalang, barulah Banyakgumarang ditemukan dalam kondisi hidup dan segar badannya. Sejak saat itulah Banyakgumarang disebut Kyai Wagerglagah. Setelah wafat, jenazahnya dimakamkan di bawah pertapaannya di desa kedungwaringin/Kedungwringin.

Kyai Muhammad Syafi’i Penasehat Diponegoro
Salah satu keturunan Kyai Wagerglagah adalah Kyai Muhammad Safi’i. Ia adalah putra darri Kyai Muhammad Jafar (makam di Brangkal) bin Kyai Nuryadin/Nur Muhammad (makam di Jungkemureb Alang – alang Amba Karanganyar) bin Kyai Jubari (makam di Kedungbulus, utara Gombong) bin Kyai Wirokerti Ngabehi Kaleng (makam di Kaleng) bin Kyai Wagerglagah.
Kyai Muhammad Syafi’i diambil menantu oleh Kyai Muhammad Ngisa Krandegan (Puring) (?). Ia kemudian menuntut ilmu di Dongkelan Yogyakarta mengikuti Kyai Syahabudin (kakeknya; ayah dari Ibunya).
Pada suatu ketika, Sultan Hamengku Buwana II (Sinuwun Banguntapa) memerintahkan Kyai Syahabudin untuk menulis Quran. Berhubung ia sudah tua, pekerjaan itu ia serahkan kepada Kyai Muhammad Syafi’i cucunya. Alhasil Sultan Hamengku Buwana II puas sekali dengan karyanya tersebut. Kyai Muhammad Syafi’i pun dipanggil menghadap dan ditanya berbagai macam hal. Selanjutnya, atas kepercayaan Sultan Hamengku Buwana II, Kyai Muhammad Syafi’i dinikahkan dengan salah satu cucu Sultan yang bernama BRA Maryam, (putri Sultan Hamengku Buwana III/ Sinuwun Raja), adik Pangeran Dipanegara. Dengan kata lain, Kyai Muhammad Syafi’i menjadi adik ipar Pangeran Dipanegara.
Kyai Muhammad Syafi’i  yang meminta izin untuk kembali tinggal di kabupaten Roma diberi tanah lungguh (bengkok) di desa Brangkal dan diberi jabatan Mufti oleh Sultan Hemengku Buwana II. Ia juga diberi wewenang menikahkan orang dari desa Brangkal, Setanakunci, Kedunglo, Pucang, Prapag, Klapagada, Pekuncen, Kedungbulus, Kedungwringin, Pejaten dan Pohkumbang.
Kyai Muhammad Safi’i mengajarkan agama Islam di Brangkal dan mendirikan Masjid pada 1813. Brangkal masuk dalam wilayah Kabupaten Roma yang pada saat itu telah beribukota di Jatinegara utara Gombong.

Transisi Kepemerintahan di Kabupaten Roma
Kyai Kertanegara I diangkat menjadi Patih Kartasura bergelar Kanjeng Raden Adipati Mangunpraja, sehingga jabatan Bupati Roma kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Raden Tumenggung Kertanegara II.
Setelah Adipati Mangunpraja wafat (dimakamkan di Pekuncen, utara Gombong), Tumenggung Kertanegara II ditarik ke Solo (pada saat itu kraton telah dipindahkan dari Kartasura ke Solo). Di sana Kertanegara II dijadikan Bupati Nayaka (makam di Laweyan Solo). Kedudukan Bupati Roma kemudian digantikan oleh adik Kertanegara II yang saat itu telah menjabat sebagai Bupati Anom di Ayah bergelar Raden Tumenggung Kertanegara III.
Setelah Kertanegara III wafat (makam di Pekuncen), Bupati Roma selanjutnya digantikan oleh cucu RT. Kertanegara II jalur laki – laki yang bernama Raden Panji Indrajit, kemudian bergelar Kertanegara IV.

Dukungan Kabupaten Roma terhadap Dipanegara
Pada saat terjadinya perang Dipanegara, Raden Tumenggung Kertanegara IV selaku bupati Roma saat itu bersama warganya mendukung Pangeran Dipanegara. Kertanegara IV kemudian diberi gelar Senopati Banyakwide oleh Pangeran Dipanegara.
Peristiwa Perang Dipanegara
Pada saat terjadinya perang Dipanegara, Kyai Muhammad Syafi’i Brangkal yang merupakan adik ipar Dipanegara juga ikut aktif membantu dalam peperangan bersama RM. Arya Mangunprawira (adik Pangeran Dipanegara) dan RM. Jayaprana (adik sepupu Pangeran Dipanegara; putra Pangeran Arya Murdaningrat). Kyai Muhammad Syafi’i menjadi penesehat Pangeran Dipanegara menggantikan Kyai Maja. Pangeran Dipanegara bersama pasukannya bermarkas di Brangkal ketika melakukan penyerangan terhadap Belanda di Wilayah Roma (sekarang masuk dukuh di desa Kalibeji Kec. Sempor).

Pertempuran Candi
Pada tanggal 18 April 1829 Tumenggung Banyakwide (Tumenggung Kartanegara IV) tertangkap oleh Mayor Buschkens di Kemit. Meskipun Bupati Roma IV ini tertangkap Belanda, perlawanan rakyat Roma terus berlangsung. Bahkan pasukan Belanda secara sekonyong-konyong diserang oleh pasukan rakyat di desa Candi. Penyerangan mendadak ini mengakibatkan jatuhnya korban dipihak Belanda, sehingga desa Candi pun kemudian dibumihanguskan Belanda sebagai wujud kemarahan mereka, sekaligus untuk memberi peringatan pada rakyat yang mendukung Dipanegara.
Pertemuan Pertama Pihak Belanda dengan Pangeran Dipanegara
Pada tanggal 16 Februari 1830, terjadilah petemuan yang pertama antara Pangeran Dipanegara dan wakil tentara Belanda yakni Kolonel Cleerens (mewakili Jenderal de Kock yang sedang berada di Batavia) di desa Roma Kamal, di sebelah utara Roma Jatinegara. Setelah pertemuan ini, diadakan pertemuan lanjutan di desa Kejawang dan kemudian di Magelang yang berakhir dengan penangkapan Pangeran Dipanegara.
Pasca Penangkapan Pangeran Dipanegara
Pasca penangkapan Pangeran Dipanegara, RM. Arya Mangunprawira dan RM. Arya Jayaprana juga tertangkap di desa Brangkal. Setelah dianggap tidak membahayakan lagi, RM. Arya Mangunprawira diangkat sebagai Pembantu Kolektur di Muntilan sedangkan RM Arya Jayaprana dijadikan pegawai pengadilan di Purworejo. Selanjutnya RM. Arya Mangunprawira diangkat menjadi Kolektur (setingkat Ka Dis Pemda) di Kebumen dan diawasi oleh Adipati Arungbinang IV Bupati kebumen, sedangkan RM. Arya Jayaprana diangkat menjadi Beskal (suatu jabatan di Pengadilan Belanda) di Purworejo.

Pemerintahan Kabupaten Roma Pasca Perang Dipanegara
Setelah perang Dipanegara berakhir, Bupati Roma dijabat oleh Raden Tumenggung Sindunegara, Bupati Nayaka dari kraton Yogyakarta. Bupati Roma ini diberi pangkat Mayor oleh Belanda dan bertempat tinggal di Gombong.
Warga Kabupaten Roma yang memihak Dipanegara dapat ditumpas Belanda dengan mengerahkan pasukan yang terbagi dalam empat kelompok besar yang dipusatkan di Kenteng Kemit, Petanahan, dan dua wilayah lainnya. Pasukan ini sengaja dikerahkan untuk membantu Tumenggung Mayor Sindunegara yang bekerjasama dengan Belanda. Benteng pertahanan Belanda saat itu bernama Fort General Cochius. Raden Tumenggung Kusumareja (Bupati Anom) didatangkan dari Yogyakarta untuk membantu Raden Tumenggung Mayor Sindunegara mengatur kembali desa – desa yang rusak akibat pertempuran serta mengatur masalah pajak.
Pada tahun 1838 warga kabupaten Roma dan Ambal berontak kembali melawan Kasultanan Yogyakarta yang pada saat itu pro kepada Belanda.  Pemberontakan dipimpin oleh para bekas pengikut Dipanegara. Pemberontakan tersebut mengakibatkan kedua bupati dari masing – masing kabupaten itu mengungsi.  Di kabupaten Roma, pemberontakan dipimpin oleh Kyai Kramaleksana dari Kuwaru (putra Pangeran Purwadiningrat yang ikut bergabung dengan Dipanegara). Pemberontakan itu berakhir dengan pejanjian bersyarat dari Kyai Kramaleksana dimana pemerintah Roma dikemudian hari tidak boleh memperlakukan anak cucu dan keturunannya dengan sewenang – wenang.
Setelah pemberontakan dapat diredakan, RM. Arya Mangunprawira diangkat menjadi wakil Bupati Ambal, sedangkan RM. Arya Jayaprana dijadikan wakil Bupati Roma dan bertempat tinggal di dusun Kruwed desa Jatinegara (sebelah barat pasar Gombong sekarang). Kedua Wakil Bupati tersebut kemudian diangkat menjadi Bupati di masing – masing kabupatennya. RM. Arya Mangunprawira memakai gelar Purbanegara sebagai Bupati Ambal dengan ibukota tetap di Ambal, sedangkan RM. Arya Jayaprana bergelar Jayadiningrat.
RM. Arya Jayaprana bersedia dijadikan Bupati Roma dengan syarat Belanda tidak boleh secara langsung memerintah rakyat, melainkan hanya sebagai penasehat. Semua perintah kepada rakyat harus atas persetujuan dan melalui RM Arya Jayaprana. Pangkat Bupati Jayaprana tidak di bawah Residen, melainkan sederajat. Syarat – syarat tersebut disetujui Belanda asal kabupaten Roma menjadi tenteram.
Jayaprana bergelar Adipati, payungnya berwarna kuning kemilauan (warna keseluruhan payung kuning, sama dengan payung Residen). Ia juga membuat ketentuan bahwa yang diperbolehkan naik kendaraan/kereta/andong sampai ke tratag rambat hanya Residen. Asisten Residen dan pejabat yang lebih rendah harus turun dari kendaraan di paseban di alun – alun dan untuk sampai di pendopo harus bejalan kaki. Jayaprana kemudian bergelar Kanjeng Raden Adipati Jayadiningrat.
Atas pertimbangan kurang strategis dan luasnya kompleks Kabupaten, maka pada tahun 1841 ibukota kabupaten Roma dipindahkan dari Gombong ke tempat yang baru dan kemudian dinamakan Karanganyar. Kabupaten Roma kemudian berubah menjadi Kabupaten Karanganyar.
Pada tahun 1868 Belanda telah berhasil menundukkan semua kabupaten di sekitar Karanganyar. Sikap Adipati Jayaningrat yang memegang teguh perjanjian Roma mengakibatkan orang – orang yang setia terhadap Adipati dipindah dan diganti dengan orang – orang yang setia kepada Belanda. Jayadiningrat dicari – cari kesalahannya. Orang – orang pedesaan dihasut dan dibujuk agar membenci Bupatinya. Taktik Belanda ini sampai berakibat adanya unjuk rasa yang diatur oleh para pejabat yang setia kepada Belanda.

Sumber Buku:
  1. M.D, Sagimun, Pahlawan Dipanegara Berjuang (Bara Api Kemerdekaan Nan Tak Kunjung Padam), 1956, Jogjakarta, Tjabang Bagian Bahasa, Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta MCMLVII.
  2. Soenarto, HR, Sejarah Brangkal, Kabupaten Roma (Jatinegara/Kruwed) dan Kabupaten Karanganyar.

Tim Penggalian dan Penulisan Sejarah :
  1. Kapten Suko Wardoyo                    Kanminvetcad Kabupaten Kebumen
  2. Bambang Priyambodo, S. Sos      PPM Macab Kebumen
  3. Ravie Ananda, S. Pd                      Pemerhati Sejarah
  4. Serka Marjuki                                   KODIM 0709 Kebumen
  5. Pelda Sudarsin                                KODIM 0709 Kebumen

Harkitnas 20 Mei 2012
Kabupaten Kebumen

Sumber :  http://kebumen2013.com/sejarah-kaleng-pucang-brangkal-kabupaten-roma-jatinegara-kruwed-dan-kabupaten-karanganyar-perspektif-kebangkitan-nasional-1825-1900/

Sabtu, 04 Februari 2012

Kyai Kramaleksana dalam Sejarah Nama Sebuah Jalan


Jalan Krama Leksana nama jalan kecil di wilayah Panjer dan Selang - Kebumen
Jalan Krama Leksana Nama jalan kecil di wilayah Panjer dan Selang Kebumen.

Meski telah diabadikan sebagai nama sebuah jalan di wilayah Panjer dan Selang, sosok dan sejarah Kyai Kramaleksana masih asing dalam pengetahuan generasi muda Kebumen khususnya. Kramaleksana dan Mbah Banyumudal yang merupakan tokoh besar dari daerah setempat tertutup oleh tokoh Ibrahim Asmoro Kondi yang secara logika historis sangat lemah keberadaannya di wilayah tersebut terlebih sejarahnya baru dimunculkan pada sekitar awal tahun 2000 an dalam rangka geliat politik lokal pada masa itu. Hal ini tentunya sangat disayangkan terlebih ketika pemahaman akan sejarah cikal bakal menjadi satu hal pokok penentu hidupnya kearifan budaya lokal yang sangat mempengaruhi pembentukan karakter generasi sebuah daerah.

Desa Selang berbatasan dengan desa Panjer di sebelah Barat. Di desa yang kini telah menjadi kelurahan ini, jauh sebelum berdirinya kraton Yogyakarta pada tahun 1755 telah memiliki tokoh penting yang ikut andil dalam perjalanan sejarah Raja – raja Jawa khususnya Mataram Islam. Salah satu diantaranya adalah Kramaleksana. Sosok Kramaleksana hidup pada masa Sultan Amangkurat I hingga Hamengku Buwana I (1600 – 1700 an). Pada masa perang Mangkubumi  (1746 – 1775) Kramaleksana ikut membantu Pangeran Mangkubumi yang pada masa itu memusatkan pertahannya di tanah Panjer (termasuk di dalamnya adalah wilayah Sruni, Selang, Kalijirek, Kutowinangun dsb) yang kemudian berubah menjadi Kabupaten Kebumen pasca pembumihangusan Pendopo Agung kotaraja Panjer (kini area Pabrik Minyak Nabatiasa/Sarinabati) pada tahun 1832. Menurut beberapa sumber data berupa babad antara lain: Babad Sruni, Babad Giyanti (karya R. Ngabehi yasadipura I /kakek R. Ngabehi Ranggawarsita), Babad Banyumas, maupun silsilah Raja – Raja Jawa (Serat Sarasilah) dapat diketahui sebagai berikut:

Sosok Kramaleksana muncul setelah bertahtanya Amangkurat II menggantikan Amangkurat I. dikisahkan bahwa atas jasanya menghalau Trunajaya beserta pasukannya yang mengejar Amangkurat I hingga di tanah Panjer, maka Kertinegara Sruni (sebelum peristiwa pemberontakan Trunajaya, Kertinegara telah melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I dan kemudian bertaubat) diangkat sebagai Wedana Bupati Brang Kulon dengan gelar Tumenggung Kertinegara oleh Amangkurat II. Dalam acara Tasyakuran atas pemberian anugerah tersebut, Kertinegara menikahkan putrinya yang bernama Rara Inten (anak bungsu Kertinegara dengan istri pertamanya)dengan Ki Kramaleksana anak Ki Kramayuda Sruni. Acara berlangsung tiga hari tiga malam dan sangat meriah. Selang dua bulan dari acara tersebut, Tumenggung Kertinegara bersama Ki Demang Sutawijaya dan Ki Kramaleksana (menantunya) menghadap ke Kraton baru di Kartasura dalam rangka menyerahkan upeti tanah Panjer. Selain itu Kertinegara juga mengabdikan menantunya yakni Kramaleksana. Atas kemurahan Amangkurat II Kramaleksana diterima dan diangkat menjadi Mantri Pamajegan di Klegenkilang (kini berubah nama menjadi Selang) dengan gelar Ngabei Kramaleksana. Setelah beberapa hari di Kartasura, mereka pun kembali ke Sruni. Kemudian Kramaleksana segera berpindah kediaman di Klegenkilang guna menjalankan tugasnya.

Menurut beberapa sumber, Kramaleksana mempunyai istri dua orang. Isteri pertama adalah anak dari Tumenggung Kertinegara Sruni, sedangkan isteri kedua adalah anak dari Raden Tumenggung Wiraguna kartasura. Dari keduanya Kramaleksana memiliki lima belas (15) orang anak yaitu :
  1. Ngabehi Wiryakrama, mantri Gunung ing Tlagagapitan; (salah satu putrinya dijadikan isteri kelangenan dari Sultan Hamengku Buwana II dan bergelar Bandara Raden Ayu Nilaresmi, kemudian menurunkan Gusti Raden Ayu Pringgadirja).
  2. Mbok Mas Dipayuda.
  3. Ngabehi Kramadirja, Mantri Nangkil Ngayogyakarta. Setelah selesai bertugas, ia kemudian kembali ke Selang dan berganti nama menjadi Ki Kramasentika, akan tetapi oleh masyarakat setempat kemudian lebih dikenal sebagai Ki Kramareja.
  4. Mbak Mas Rara Ketul, kemudian menjadi isteri Kelangenan Hamengku Buwana I dan bergelar Bandara Raden Ayu Handayahasmara, kemudian menurunkan : Bandara Pangeran Harya Hadikusuma, Bandara Raden Ayu Juru, dan Bandara Pangeran Harya Balitar.
  5. Mbok Mas Kramayuda.
  6. Ki Secawijaya, setelah menjadi Mantri Nangkil ing Ngyogyakarta menggantikan saudara laki lakinya kemudian bergelar Ngabehi Kramadirja.
  7. Ki Kramadiwirya.
  8. Ngabehi Resadirja, menikah dengan cicit/buyut Mangkunegaran Sambernyawa Surakarta.
  9. Ngabehi Kramataruna.
  10. Ki Kramatirta.
  11. Ki Resadiwirya
  12. MBok Mas Wiryayuda (Setrareja).
  13. Mbok Mas Resapraja (Kramasentika).
  14. Ki Honggawijaya, setelah menjadi Mantri bergelar Ngabehi Kramayuda, isterinya dari Surakarta, dan menurunkan salah satunya Ngabehi Jayapranata yang di kemudian hari menjadi Patih Mangkunegaran. Anak perempuan Ngabehi Jayapranata dijadikan isteri kelangenan Pangeran Mangkunagara III dan bergelar Mas Ajeng Handayaresmi, menurunkan dua orang yakni Raden Mas Suryahandaka dan Raden Ajeng Kuning (menikah dengan Pangeran Harya Gandahatmaja anak dari Pangeran Adipati Mangkunagara IV Surakarta).
  15. Mbok Mas Jawidenta.
Anak – anak Kramaleksana tersebut di atas, mulai dari nomor 1 hingga 5 dilahirkan dari isteri pertamanya (Puteri Tumenggung Kertinegara Sruni), sedangkan anak nomor 6 hingga 15 dilahirkan dari isteri kedua (Puteri Tumenggung Wiraguna Kartasura).
Ada yang mengisahkan bahwa Kramaleksana memiliki tiga orang istri dimana yang ke tiga berasal dari Yogyakarta. Namun pernyataan ini sangat lemah sebab dari data yang ada yakni babad Sruni yang memuat silsilah singkat disebutkan bahwa isteri Kramaleksana hanya dua orang dan dari keduanya menurunkan 15 orang anak. Sedangkan pada silsilah induk milik Kanjeng Raden Harya Adipati Danureja V Yogyakarta yang kemudian bergelar Kanjeng Pangeran Juru, tidak disebutkan jumlah isteri dari Kramaleksana. Hanya disebutkan jumlah anak sebanyak 12 orang sehingga ada selisih kekurangan 3 orang jika dibanding dengan silsilah yang ada di babad Sruni. Adapun kekurangannya adalah :
  1. Mbok Mas Dipayuda (anak nomor 2).
  2. Mbok Mas Resapraja/Kramasentika (anak nomor 13).
  3. Mbok Mas Jawidenta, (anak nomor 15).
Dari data di atas maka dapat diketahui bahwa keturunan Kramaleksana yang kemudian menurunkan darah Kraton Yogyakarta ada dua orang dan darah Mangkunegaran satu orang yakni:
  1. Anak ke 4 menjadi isteri kelangenan Hamengku Buwana I
  2. Cucu Kramaleksana (anak dari Wiryakrama) menjadi isteri kelangenan Hamengku Buwana II
  3. Cicit/Buyut Kramaleksana menjadi isteri kelangenan Kanjeng Gusti Pangeran Harya Mangkunagara III Surakarta.
Selain anaknya, ternyata saudara perempuan Kramaleksana juga menjadi isteri kelangenan Hamengku Buwana I dan bergelar Bandara Raden Ayu Turunsih, yang menurunkan 2 orang anak yakni :
  1. Bandara Pangeran Harya Mangkukusuma
  2. Bandara Raden Ayu Tumenggung Danunagara. Adapun Raden Tumenggung Danunagara adalah anak dari Kanjeng Raden Hadipati Danureja I Patih Yogyakarta (Danureja I sebelumnya menjabat sebagai Bupati Banyumas IX dengan gelar Adipati Yudanegara III).
Asal mula anak Kramaleksana diperisteri Hamengku Buwana I
Ketika Pangeran Mangkubumi (RM. Soedjono) berperang di tanah Panjer ia melihat seorang anak perempuan yang menggunakan pinjung/kain berusia sekitar 11 tahun. Anak tersebut sangat suka melihat prajurit yang tengah berperang di sekitar rumahnya tanpa merasa takut. Pangeran Mangkubumi memperhatikan semua gerak dan tingkah anak tersebut dengan keheranan dan kagum. Ia kemudian mengutus seorang abdinya untuk bertanya kepada anak tersebut. Setelah ditanya, anak tersebut pun menjawab bahwa ia bernama Mas Rara Ketul, anak dari Ki Kramaleksana, seraya menunjukkan ayahnya yang tengah berlari ke arah barat menggunakan ikat wulung dan menghunus keris mengejar musuh. Abdi tersebut kemudian melaporkan kepada Pangeran Mangkubumi apa yang dikatakan oleh Rara Ketul. Hal itu membuat senang hati Pangeran Mangkubumi, terlebih setelah mengetahui bahwa ia anak dari Ki Kramaleksana yang telah banyak berjasa selama pasukan Mangkubumi berada di tanah Panjer. Pangeran Mangkubumi pun berpesan kepada Ki Kramaleksana agar kelak ketika dewasa anak tersebut diserahkan kepadanya untuk dijadikan isteri. Dengan rasa bangga dan senang hati Kramaleksana menyanggupi. Setelah Pangeran Mangkubumi memenangkan peperangan dengan perjanjian Giyanti dan menjadi Raja pertama Yogyakarta dengan gelar Hamengku Buwana I, Rara Ketul yang telah beranjak dewasa pun diserahkan kepada Sultan dan kemudian dijadikan Isteri dengan gelar Bandara Raden Ayu Handayahasmara. Nama tersebut didasarkan pada kekaguman Sang Sultan akan keberanian  Rara Ketul, meskipun masih anak – anak berani mengikuti ayahnya di medan peperangan. Pada umumnya, laki – laki sekalipun jika ia bukan prajurit pasti akan takut dan meninggalkan rumahnya ketika didekatnya menjadi medan peperangan.

Leluhur dari Kramaleksana dan Bandara Raden Ayu Turunsih.
Alur leluhur Kramaleksana diketahui berasal dari Kyai Aden. Ada perbedaan pendapat mengenai sosok Kyai Aden. Dalam Babad Sruni, Kyai Aden ditulis sebagai anak dari Jaka Lancing (Mbah Lancing). Sedangkan menurut Sarasilah (silsilah Raja – raja Jawa) halaman 40 diketahui bahwa Kyai Aden adalah guru dari Raden Jaka Lancing. Raden Jaka Lancing/Raden Banyak Patra/Harya Surengbala/Panembahan Madiretna adalah anak ke 50 dari Brawijaya V (Raden Alit) yang lahir dari isteri selir dan sengaja diserahkan kepada Kyai Aden Gesikan untuk dididik.
  • Kyai Aden Gesikan, berputra;
  • Kyai Sutamenggala (Sruni), berputra;
  • Kyai Sutapraja (Sruni), berputra;
  • Kyai Kramayuda (Sruni), berputra (diantaranya);
  • Kyai Kramaleksana dan Bandara Raden Ayu Turunsih.
Leluhur dari Nyai Kramaleksana (isteri pertama)
Dari Babad Sruni diketahui bahwa Nyai Kramaleksana yang merupakan anak dari Tumenggung Kertinegara Sruni memiliki alur Majapahit sebagai berikut:
  • Prabu Brawijaya terakhir menurunkan;
  • Raden Jaka Pekik/Harya Jaranpanolih Sumenep (Saudara Jaka Lancing), berputra;
  • Harya Leka (Sumenep), berputra;
  • Jambaleka (Sumenep), berputra;
  • Ki Mas Manca/Harya Mancanagara (Patih Pajang), berputra;
  • Ki Mas Tumenggung Pramonca (Sruni), berputra;
  • Raden Tumenggung Kertinegara I (Sruni), berputra;
  • Kertileksana, Kertisentika, Rara Rinten (dari isteri pertama), dan Rara Ranti (dari isteri kedua). Rara Rinten kemudian dinikahkan dengan Kramaleksana dan menurunkan Bandara Raden Ayu Handayasmara.
Beberapa Versi Makam Kramaleksana
Ada tiga pendapat mengenai letak makam Kramaleksana yakni; 1. di Banyumudal di jalan Kyai Kramaleksana (Perbatasan Selang dan Panjer; kini makam tersebut diganti nama menjadi makam Ibrahim Asmoro Kondi), 2. Di Pemakaman Sijago Selang, 3. Di Desa Kaliwarak (utara Masjid Kaliwarak). Dari ketiga pendapat tersebut makam Banyumudal (terletak di Jalan Kyai Kramaleksana) yang kini dinamakan Ibrahim Asmoro Kondi adalah makam yang paling dikenal warga sebagai makam Kramaleksana.
Meski Kramaleksana semakin hilang dalam ingatan dan pengetahuan masyarakat Selang dan Panjer yang kini lebih familier dengan tokoh Ibrahim Asmoro Kondi, namanya tetap terpatri dan lestari menjadi sebuah nama jalan kecil di wilayah Panjer dan Selang yang kini lebih dikenal dengan nama “Kecepit” tepat di samping pintu rel kereta api.

Persaudaraan Mas Manca dengan Jaka Tingkir (Hadiwijaya)
Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan mengenai persaudaraan antara Mas Manca yang kemudian menjadi Patih Pajang dengan Jaka Tingkir (Hadiwijaya) sebagai Raja Pajang sebagai berikut:
Jaka Leka adalah seorang pertapa yang berdiam di dukuh Cal Pitu di kaki gunung Lawu (mungkin ini yang disebut dengan Jambaleka di dalam silsilah babad Sruni; perbedaannya jika di babad Sruni dikatakan dari Sumenep, dalam Babad Tanah Jawa disebutkan dari kaki Gunung Lawu. Dimungkinkan juga ia berasal dari Sumenep dan menjadi pertapa di kaki gunung Lawu). Ia masih keturunan dari Majapahit. Anak laki – lakinya yang bernama Mas Manca pergi dari padukuhannya dan berniat bertapa di pesisir laut selatan. Dalam perjalanannya ia berhenti di daerah Banyu Biru dan kemudian dijadikan anak oleh Ki Buyut Banyu Biru. Mas Manca sangat disayang dan diberi kebebasan segala tingkah lakunya serta diajari segala ilmu kesaktian. Ia juga diperintahkan untuk bertapa agar memperoleh derajat. Ki Buyut tahu bahwa Mas Manca akan menjadi pendamping raja. Ia berkata kepada Mas Manca bahwa Rajanya akan datang jika ia telah tinggal di Banyu Biru selama 3 bulan. Kelak kerajaannya berada di Pajang. Tepat 3 bulan keberadaan Mas Manca di Banyu Biru, datanglah Jaka Tingkir yang sengaja mencari tempat tersebut mengikuti wangsit dari suara gaib saat ia tidur di makam ayahnya di Pengging selama empat hari. Di Banyu Biru Jaka Tingkir diangkat anak pula oleh Ki Buyut Banyu Biru. Selain diajari segala ilmu yang dimiliki oleh Ki Buyut, Jaka Tingkir juga diberi amanah agar di mana pun ia berada harus selalu bersama – sama saudara seperguruannya tersebut yakni Mas Manca, Ki Wuragil (adik Ki Buyut), dan Ki Wila (keponakan Ki Buyut). Sejak saat itu mereka selalu bersama – sama dan ketika Jaka Tingkir menjadi Raja Pajang, Mas Manca dijadikan Patihnya. Sementara Ki Wuragil dan Ki Wila dijadikan Bupati.
Dari data tersebut dimungkinkan keberadaan Tumenggung Pramonca di Sruni (ayah dari Tumenggung Kertinegara Sruni) sebagai anak dari Mas Manca/Patih Pajang dikarenakan tugas kerajaan mengingat pada waktu itu Kerajaan/Negara Panjer dengan gelar pimpinan Kuwu (Yang Mulia/yang ditinggikan) telah berubah menjadi Kadipaten Panjer yang dipimpin oleh seorang adipati dan secara resmi menjadi wilayah di bawah kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.

Kebumen, Sabtu Wage 11 Oktober 2013
Oleh Ravie Ananda

 Sumber : http://kebumen2013.com/kyai-kramaleksana-dalam-sejarah-nama-sebuah-jalan/