Kamis, 28 Januari 2010

Kehidupan Sosial Budaya Desa

Silih Asah Silih Asih Silih Asuh….
Kata-kata puitis diatas bukan sembarangan puisi, melainkan sebagai filsafat hidup yang dianut mayoritas penduduk Pedesaan. Filosofi ini mengajarkan manusia untuk saling mengasuh dengan landasan saling mengasihi dan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Sejatinya, inilah suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan keluhuran akal budi, yang akar filsafatnya menusuk jauh ke dalam bumi dalam pengertian hafiah..

Selain akrab dengan alam lingkungan dan sesama manusia, manusia pedesaan juga dekat dengan Tuhan yang menciptakan mereka dan menciptakan alam semesta tempat mereka berkehidupan. Keakraban masyarakat desa dengan lingkungan tampak dari bagaimana masyarakatnya, khususnya di pedesaan, memelihara kelestarian lingkungan. Ini banyak muncul anggota masyarakat yang atas inisiatif sendiri memelihara lingkungan alam mereka.

Kelurahan Mangunharjo yang masuk wilayah kabupaten Kebumen Jawa Tengah, terdiri atas beberapa dukuh. Di antaranya dukuh Bulupayung dimana saya dilahirkan dan di besarkan, masyarakatnya sebagian besar terdiri dari kaum petani, pedagang dan peternak. Bukan berarti tidak ada yang berpenghasilan tetap, seperti Guru, Polisi/TNI, mantri rumah sakit, dan lain-lain. Hanya berjarak beberapa meter dari rumah kami, terbentang sawah dan ladang, yang pada saat-saat tertentu ditanami padi. Angkutan yang di gunakan pada umumnya adalah dokar (delman), becak (untuk jalan yang sudah halus) serta sepeda dan sepeda motor walaupun tidak banyak. Kendaraan roda empat masih sedikit.

Jalan desa yang menghubungkan desa satu dan lainnya masih berupa tanah dicampur kerikil, yang berdebu pada saat musim kemarau dan becek saat musim penghujan. Desaku masih sedikit beruntung karena sudah sebagian besar beraspal hasil sumbangan salah satu warga yang berhasil di perantauan dan yang paling penting tak pernah terkena banjir karena letaknya jauh dari sungai besar. Panen padi adalah saat yang ditunggu-tunggu.

Pada saat panen, petani akan menyetor sebagian padi untuk disimpan ke Lumbung Desa. Pada awalnya Lumbung Desa hanya berfungsi menyediakan (dan menagih) pinjaman dalam bentuk padi. Tujuan utama didirikan Lumbung Desa adalah untuk meratakan fluktuasi musiman pasokan beras di desa. Pada awal 1900 an, Lumbung Desa di daerah maju di Jawa mulai menyimpan dan menagih pinjaman dalam bentuk uang. Hal ini disebabkan pengelolaan beras pasca panen sulit untuk dijaga agar kualitas beras tidak menurun, disamping ada risiko tikus di Lumbung. Itu bukti bahwa kehidupan desa di masa lalu sudah mempunyai sistem ekonomi yang baik.

Masih banyak yang bisa kita ambil manfaat dari kehidupan desa, walaupun kadang ada desa yang masih terisolir dan enggan menerima budaya luar dengan berbagai alasan. Bukan berarti mereka menolak perubahan mungkin itu merupakan cara untuk menyeleksi budaya yang tidak sesuai dengan lingkungannya. Namun yang jelas fungsi kebudayaan pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi, pemersatu, dan jatidiri. Oleh karena itu, kebudayaan menjadi acuan atau pedoman bagi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan antarsesama warga masyarakat sehingga akan berpengaruh terhadap pengetahuan, pembentukan sikap, kepercayaan, dan perilaku anggota masyarakat yang bersangkutan

Pada masa sekarang, ketika kontak budaya semakin meningkat dan intensif, banyak terjadi pergeseran dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, terutama yang sangat tampak pada sikap dan perilaku di kalangan generasi muda. Perhatian khusus bagi generasi muda merupakan hal yang menarik karena mereka adalah penerus dan pendukung kebudayaan yang ada sekarang ini. Perubahan pandangan, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku pada diri mereka akan berdampak besar terhadap corak dan nuansa kebudayaan di masa depan. Padahal di sisi lain, mereka itu sangat mudah dipengaruhi oleh unsur kebudayaan baru / asing di luar kebudayaan yang dikenalnya.

Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melakukan suatu tindakan, utamanya dalam bentuk kampanye / pengenalan, supaya mereka mengenal kebudayaan yang hidup dan berkembang di lingkungannya. Pengenalan tersebut pada gilirannya akan bermuara pada upaya untuk mencintai kebudayaan sendiri, sehingga kebudayaan yang ditumbuhkembangkan tidak lepas dari akarnya. Sebagai upaya agar memiliki keinginan dan bisa memahami perbedaan budaya, mereka harus diperkenalkan pada aspek-aspek kebudayaan dari luar lingkup kebudayaannya sendiri

Upaya tersebut diharapkan dapat mengikis etnosentrisme yang sempit dan meningkatkan pemahaman bahwa budaya yang ditimbuh kembangkan masing-masing etnik merupakan jatidiri etnik yang bersangkutan.